Wajahnya tampak pias. Meskipun sempat diantaranya ia melucu dan tertawa, tapi aku dapat merasakan kekecewaan itu jauh lebih dalam dari apa yang tampak di permukaan. Kesedihan, penyangkalan, keprihatinan seolah menyelubungi, seperti mendung di langit Semarang sore itu.
Aku juga sedih. Amat sedih dan tidak bersemangat. Kesedihan yang membunuh, yang meluluhlantakkan harapan, yang menghancurkan kepercayaan.
”Masa’ iya, manusia selemah itu?” tanyaku di perjalanan pulang.
Bahkan untuk mengontrol dirinya sendiri, sampai2 harus ada yang seperti itu. Harus ada lokalisasi, harus ada kampanye penggunaan kondom, harus kena AIDS dulu baru mau berusaha hidup sehat?!
Hari itu seorang ODHA berbicara panjang lebar di hadapan kami, begitu bersemangat dan penuh canda. Tak ada orang yang akan mengira bahwa CD+4-nya ternyata hanya 200. Ia minum obat setiap hari, dan harus selalu seperti itu sepanjang sisa hidupnya. Obat yang harganya berjuta2 jika tidak disubsidi, pemeriksaan rutin tiap 3-6 bulan yang harganya tidak cukup ratusan ribu jika lagi2 tidak disubsidi.
Ngomong2, kemana saja ia sebelum ini? Sebelum tubuhnya sakit dan membutuhkan semua itu untuk bertahan?
Apa pernah Tuhan meminta sekian juta dan sekian juta untuk semua kesempurnaan fisik yang kita miliki? Lalu kenapa manusia itu malah merusaknya, kenapa harus jadi pecandu narkoba dulu, kena AIDS dulu, baru kemudian bisa menghargai semua itu?
4 dari 14. Ternyata penyakit ini tidak diam di tempat. Itu adalah jumlah ibu rumah tangga yang dilakukan PMTCT dan yang ditemukan positif HIV. Ibu rumah tangga adalah urutan kedua terbesar jumlah penderita HIV di Indonesia setelah drug user. Pertanyaannya adalah, kok bisa? Dapat darimana?
”Di Thailand, saat seorang remaja mau keluar rumah, orangtuanya selalu mengingatkan agar tidak lupa bawa kondom...”
Hancur rasanya langit mendengar hal itu, runtuh bersama pondasi2nya. Benarkah, tidak adakah cara lain untuk mengendalikan diri kita???