Ia menikah beberapa tahun lalu, saat usianya seusiaku. Memilih jalan yang tidak banyak orang pilih: menikah saat koass, dijodohkan, asing dengan calon pasangan yang berjarak usia hampir 1 dekade, namun kemudian… bahagia.
Alangkah mirip wajah putranya yang kini berusia 2 tahun. “Sedang lucu2nya ya…!” seruku antusias saat ia memulai ceritanya. Cerita yang ternyata tidak selalu bahagia.
Umurnya, mungkin hanya berselang 2 atau 3 tahun denganku. Namun kematangan tidak hanya hadir pada penampilannya yang senantiasa rapi bermake-up, tapi juga dari sekian pilihan dalam hidupnya. Pernikahan dininya, kepergiannya PTT ke luar pulau, dan kini meninggalkan putra semata wayangnya untuk melanjutkan studi. Pilihan itu, aku tahu tidak mudah. Sekilas, kutangkap sedih yang berkelebat meski samar.
Ia menunjukkan padaku foto lelaki kecil itu di mobile phone-nya. Buah cintanya. Tampak sehat dan menggemaskan. “Dalam sehari ia bisa menghabiskan 8 botol susu, dan itu pun botol yang besar!”
Kubiarkan ia bertutur mengenai cintanya, kerinduannya. Malam itu, bukankah seharusnya seorang ibu ada di samping putranya? Membacakan bocah balita itu buku bergambar kesayangannya, mengajarinya doa sebelum tidur dan doa untuk kedua orangtua, lalu menyelimutinya ketika lelap dan mencium hangat keningnya hingga bocah iu merasa aman, dipenuhi kasih saying ibunya. Tapi sekali lagi, ini pilihannya, pilihan yang memilikki risiko yang tidak mudah bagi ibu muda sepertinya..
“Aku sempat sakit hati,” kelebat itu datang lagi. Saat studinya menuntut ia untuk membawa tugas-tugas ke rumah, dengan marah lelaki kecil itu menolak dirinya. Mungkin lelaki kecil itu sudah lebih dulu saki hati. “Aku nggak mau tidur sama mamah! Kalo mamah masih bawa-bawa buku, aku tidur sama mbak aja!”
Tergantikan. Perannya tergantikan untuk pilihan perannya yang lain. Apakah memang harus memilih satu dan tidak boleh dua? Apakah totalitasnya sebagai ibu harus dipertanyakan jika ia juga berkarier di luar rumah?
Itu adalah pilihannya. Sama ketika dulu ia memilih untuk menikah muda, ketika ia pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Itu adalah perjuangannya. Hanya ia yang tahu persis bagaimana bentuk kebahagiaanya, dan bagaimana bagian sedih itu menjadi pelengkapnya.
No comments:
Post a Comment