Wednesday, April 29, 2009
rencanaNya
Aku berjanji. Besok. Tapi setelah telepon ditutup aku jadi bertanya-tanya, tidak terlalu lambatkah aku jika besok? Akankah terlambat aku jika besok?
Kemudian aku menggunakan suara anak-anakku untuk bicara, untuk menutupi sedihku, untuk menghalangi getaran suaraku, yang merambatkan ketakutanku. Aku memakai gaya cuekku, tak acuhku, tanpa tatapan langsung ke mataku, untuk mencegah air mataku jatuh satu-satu.
Biarkanlah aku menangis hanya di hadapan Tuhan, sendirian, dalam sepi, sunyi, tulisan, huruf-huruf. Biarkan pundakku bergetar hanya saat aku tersujud, saat ayat-ayat panjang dibacakan, saat Tuhan menyentuh hatiku di relungnya yang paling dalam.
Biarkan aku diluar bisa tersenyum, bisa memberi saran pada oranglain, bisa mendengarkan cerita mereka, menanggapi candaan mereka, kemudian aku pun cukup tegar mengurus sisanya sebelum perjalananku pulang.
Esok senja, mungkin aku di kereta, jika benar itu rencanaNya.
Saturday, April 25, 2009
Some credibility, I guess
***
Pasienku seorang anak laki-laki berbadan besar, masih mengenakan seragam pramuka, dan terus dielus-elus ibunya yang tampak tak ingin melepaskan anaknya sendirian dirubung koass. Anak mami, benar2 tantangan, batinku saat tiba-tiba ditunjuk, “Baru sekali ekstraksi kan?”
Oke, yang satu dan yang pertama kali itu pun bukan aku sepenuhnya yang melakukan, giginya fraktur, terpaksa kuberikan pada dokter gigi yang bertugas. Kali ini aku ingin geleng, ingin menolak. Jangan pasien yang itu ah, ga pede, dipelototin ibunya terus lagi!
Tapi kenyataan bahwa kami nanti sebagai dokter tidak bisa pilih2 pasien (sementara pasien bebas pilih2 dokter), membuatku tak sempat berpikir untuk menolak. So, I take the challenge!
Kemudian alat-alat pun tersedia. Aku mengambil sarung tangan dan mulai memeriksa apakah anestesinya sudah bekerja. Bagus, sudah luksasi, seharusnya ini tidak sulit kan? Setelah yakin pasienku tidak kesakitan dan kulakukan ekskavasi, aku seperti biasa, meminta ijin pada dokter gigi poli yang sedang sibuk karena banyaknya pasien di hari sabtu sementara dia sendirian ditemani 18 koass minggu ke-3 (itu sih namanya bukan sendirian!)
Yup! Bismillahiraahmanirrahim! Posisiku dari depan, siap dengan tang pencabut nyawa… eh gigi maksudnya. Sudah siap beraksi begitu, tiba-tiba ibu si pasien protes, “Kok bukan sama dokter A** (dokter gigi poli satu2nya disitu yang tadi kumintakan ijin)?”
Aku tersenyum dengan wajah terturup masker (jadi percuma, dodol!), “Ini giginya sudah goyang, Bu!” jawabku walau tak relevan dengan pertanyaannya. Yang penting cabut dulu.
Dan tak lama… Jreng jreng! Inilah hari bersejarah itu. Hari dimana ketika aku mengeluarkan tang dari mulut pasien dengan beak-nya telah mencengkeram sebuah gigi utuh plus karies2nya. Kutunjukkan pada ibunya dengan pertanyaan candaan kami, “Mau dibawa pulang?”
Sang ibu tampak lega. Anaknya juga, tidak merasa kesakitan atau pusing. Aku apa lagi, lega banget! Setelah kutunjukkan pada dokter A** bahwa giginya utuh, tidak ada yang bagian tertinggal, aku meminta pasienku menggigit tamponnya agar perdarahan cepat berhenti. Saat itulah kulihat ibunya ikut-ikut konsultasi tentang giginya ke rekan koassku yang lain. Ibu itu tampaknya mulai percaya pada segerombolan dokter muda ini.
Kepercayaan pasien merupakan hal yang membanggakan dan membahagiakan bagi kami. Ekstraksi, atau cabut gigi sebenarnya bukan kompetensi dokter umum. Beberapa universitas di Indonesia bahkan telah meniadakan stase ini bagi calon dokter umum mereka. Tapi disini kami masih mempelajarinya. Kami dipersiapkan untuk kelak saat kami harus PTT di daerah-daerah terpencil, dimana ada fasilitas cabut gigi tapi tidak ada tenaganya, dokter gigi atau perawat gigi, maka kami, dokter umum, sanggup melakukannya dengan lege artis.
Sebelum pasien itu pulang kunyanyikan edukasi pasien post-ekstraksi kami, “Kapasnya dilepas setengah jam lagi ya, Dek! Boleh minum dingin, tapi jangan minum yang panas2 dulu! Kalau kumur janga keras2 ya! Ini resep obatnya, diminum ya!”
Aku tersenyum. Terimakasih atas kepercayaan Anda!
Friday, April 24, 2009
Damn it!
Bisakah kita bicara pelan, tidak terburu-buru, dan berpikir dulu. Sebelum berpikir kita harus mendengar, dan supaya bisa mendengar dengan baik kita harus diam. Jika lawan bicara sudah selesai, baru giliran kita yang bicara. Bisakah? Kita kan punya dua telinga dan satu mulut. Maka setidaknyaharus mendengar dua kali. Sekali mendengar dengan daun telinga, dan sekali lagi mendengarkan dengan hati dan meminta fatwanya. Sementara itu otak punya waktu yang cukup untuk dialiri oksigen, jadi bisa berpikir dan memilah-milah.
Bayangkan, saat kita bicara berarti kita berhenti bernafas, pasti otak juga sudah megap-megap dan berhenti buat berpikir. Jika sudah demikian yang keluar dari mulut kitapun seadanya, sekenanya, seenaknya. Apalagi kalau pakai ego, diri pasti merasa paling benar, dan yang lain salah semuanya.
***
Suatu siang aku terjebak dalam keributan. Di tempat dimana aku mau makan lagi!
Damn it!
Jadi aku diam, menunggu selesai, lalu bicara secukupnya, dan menyingkir untuk meneruskan acara makanku yang tertunda.
Thursday, April 23, 2009
Pasien baik hati vs Koass dodol
Masih memakai hanscoon (sarung tangan), belum sempat kuperiksa apakah infiltrasi pada pasienku tadi berhasil, aku terpaksa meninggalkannya tanpa melihat dulu prosesi pencabutan giginya. Gigi molarnya goyang, dari oral diagnostic, kami sepakat diagnosanya periodontitis marginalis et causa retraksi ginggiva. Hm, lupakanlah, aku punya pasien baru sekarang. Pasien ujianku.
“Yang, mana dok?” tanyaku pada dokter gigi yang memberiku kertas kuning.
“Itu, yang lagi hamil!”
Dueng! Lagi hamil??? Terbayang betapa kompleks masalah pasien ini. Lagi hamil, terus mau kukasih obat apa? Padahal aku tahu penyakitnya saja belum, hehe… Atau jangan2 hipertrofi gingivitis atau epulis gravidarum? Wah, belum pernah lihat nih..
Penasaran, campur aduk dengan tegang, deg-degan, cemas, kutemukanlah pasien ujianku sudah duduk manis di salah satu dental unit biru. Satu2nya pasien hamil di ruangan itu, dan satu2nya pasien dengan pipi yang melembung. Waduh, abses nih, judge-ku langsung. Abses apa ya?
Grogi, pertama2 persiapkan alat, menyapa pasien, dan agak tenang, karena sang ibu meskipun hamil, mulutnya kesakitan, dan jadi bahan ujian koass (yang ini sepertinya dia ga tau deh), masih tetap kooperatif dan mau menjawab pertanyaanku dengan bersahabat.
“Namanya siapa bu? Iya, pekerjaan? Alamat? Umurnya berapa, Bu?”
Wah, ternyata kita seumuran lho! Batinku. Cuma dibatin, tanpa berani ngomong langsung. Habis, sudah kalah 1-0 duluan. G1P0A0, 23 tahun, hamil 34 minggu lho, hehe..
“Rujukan atau datang sendiri, Bu?”
Si ibu langsung menunjuk-nunjuk lehernya.
“Oh, punya sakit gondok ya, Bu?”
“Hipertiroid, Mbak!” sahutnya antusias.
Hyah, keren juga ibu ini, tahu istilah hipertiroid! Aku tersenyum, dan menuliskannya di status.
Pertanyaanku berlanjut ke riwayat penyakitnya. Pipi kiri bengkak 2 minggu, sakit, makin lama makin besar, susah buka mulut. Trismus! Aku ingat diagnosis bandingnya setidaknya ada tiga macam: abses bukal, abses sub/perimandibula, atau flegmon. Flegmon jelas tidak mungkin, karena flegmon harusnya simetris, kondisi pasien juga buruk sekali.
Aku mulai memakai hanscoon baru, lalu palpasi. Pencet sana, pencet sini, raba sana, raba sini, fluktuasi kah? Perabaannya keras, batasnya tidak tegas, tepi rahang tak teraba, pembesaran limfonodi negatif. Hm, masih bingung. Tambah bingung waktu akan meriksa intraoralnya. Trismus 1 cm, gimana cara meriksanya? Kaca mulut masuk, lampu dipaskan dengan susah payah, yang kelihatan hanya sampai premolar. Gusinya bengkak, bernanah (ini fistel bukan sih?), kadang berdarah, dan sederet giginya goyang meski baru derajat II. Kasihan benar ibu ini, 2 minggu tidak bisa makan, gimana nasib bayinya…
Akhirnya kuputuskan ia menderita osteomyelitis. Dan setelah dimajukan ke pengujiku, ternyata… dong dong!!!
“Mana osteomyelitis? Ini abses bukal!”
Hya…! Salah, Bu…!
Pasien ujiankupun dirawat inap, mendapat antibiotik yang sesuai jatah untuk pasien jamkesda, dan semoga… get better soon!
Terimakasihku untuk semua pasien2ku, tempat aku banyak belajar, dan tempat mereka bersabar menghadapi koass2 macam aku… Semoga Tuhan membalas kebaikan2 mereka, dan menjadikan aku dokter yang professional.
Semangat!!!
Wednesday, April 22, 2009
Kapan gigi harus dicabut?
Socket adalah tempat akar gigi tertanam, yaitu pada tulang alveolar yang dikelilingi oleh jaringan penyangga gigi atau periodontium.
Alat yang digunakan biasanya berupa tang yang terdiri dari beberapa jenis sesuai dengan jenis giginya, bein untuk melonggarkan gigi dari socket-nya, dan cryer untuk mengambil gigi dengan sisa akar atau akar ganda.
Ekstraksi sendiri bukan merupakan tindakan yang terbaik, karena setelah itu dapat menimbulkan masalah. Sehingga ada indikasi tertentu kapan gigi harus dicabut. Sementara prinsip dari terapi gigi sendiri adalah konservasi atau pertahankan selama masih bisa dilakukan.
Cabut gigi perlu dilakukan jika ada salah satu indikasi berikut:
1. Gigi sebagai fokal infeksi; yaitu gigi dengan kematian pulpa, misalnya gangren pulpa atau gangren radiks
2. Persistensi; dimana gigi permanen/dewasa sudah tumbuh namun gigi susu belum tanggal, maka gigi susu harus dicabut
3. Perforasi radix; biasanya pada akar gigi susu yang menembus gusi sehingga menyebabkan iritasi dan luka yang disebut ulkus dekubitus
4. Erupsi dificilis; atau impaksi, merupakan kesulitan erupsi yaitu gangguan pertumbuhan gigi dimana secara anatomis gigi tidak tumbuh sebagian atau seluruhnya
5. Periodontitis marginalis; peradangan jaringan penyangga gigi, kronis, hingga gigi goyah
6. Fraktur gigi; gigi yang patah dimana secara klinis keberadaan gigi d mulut sudah tidak ada gubanya
7. Indikasi ortodonsi (kawat gigi)
8. Indikasi prostodonsi (gigi tiruan)
9. Pre terapi radiasi
10. Malposisi (kelainan posisi) yang menyebabkan iritasi jaringan sekitar
11. Malposisi yang menyebabkan gangguan estetika
Monday, April 6, 2009
For The Miracle of Marine
Kakak tolong!!! Aku dikeroyok!!!
Kenapa daging babi haram, Kak?!
Tulisan itu seperti tulisan mesin ketik.
Singkat, padat, layaknya pesan S.O.S.
Dikirim dari ratusanribu kilometer di tengah samudra tanpa sinyal komunikasi.
Ican. Satu nama itu langsung hadir di benak
Ican yang dikeroyok, dipukuli, dijejali babi! Pikiran itu memenuhi kepala
“Kamu minum, Can?!” suara
“Ya, enggak lah. Ican semburin. Tau deh, ada yang masuk atau enggak!” suara Ican diseberang
“Rasanya apa?”
“Pedes, pahit, panas, hu uh!”
“
Respon dari beberapa teman berdatangan, “Aku punya file-nya, Fa!”
Ican, beneran kamu dikeroyok?!
***
Sebenarnya aku ingin bertanya; keyakinan macam apa itu? Maksudku, bagaimana ia, juga Ican dan kedua orangtuanya yakin bahwa inilah jalan yang terbaik? Yang paling aman, dengan iman sebagai taruhannya?!
Aku ingin bertanya dengan keraguan macam itu. Namun kemudian urung. Karena pada kenyataan Ican bisa bertahan (dan semoga) hingga akhir.
Jika tidak ada yang memulai seperti dirinya. Jika tidak ada muslim yang kuat islamnya, yang berani mengambil langkah menembus batas samudra, berlayar di kapal besar kelas dunia, lalu siapa yang akan menjadi nahkoda pengendali kapalnya?
Teriring doa untuk mereka, the miracle of marine.
Kenapa babi haram?
“Kenapa babi haram?”
“Sebab diharamkan di Al-Qur’an, dan Al-Qur’an adalah pegangan hidup seorang muslim.”
“Ya, saya tahu, tapi kenapa?”
Mendadak ia merasa bodoh. Mendadak, tapi sebenarnya tidak juga, ia pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya, beberapakali, dan ia masih saja tak mengerti.
Jika baginya sendiri, jawaban itu cukup. Sederhana dan masuk akal. Ia muslim, ia meyakini Al-Qur’an, dan ia melaksanakannya, toh masih banyak makanan yang halal juga. Tapi mungkin masalahnya tidak sesederhana itu bagi orang lain, apalagi bagi seorang teman yang bukan muslim. Penasaran. Ia jadi ikut penasaran dan mencari jawabannya. Kali ini yang seilmiah mungkin, masuk logika manusia, dan bisa dijelaskan.
“Setidaknya ada tiga hal,” dalam sebuah diskusi kelompok kami bersemangat membahasnya. “Pertama, DNA babi mirip dengan DNA manusia.”
Ya, ya, dia sudah tahu itu. Ia tahu benar itu. Makanya banyak bagian dari babi yang digunakan pada, misalnya, pembuatan insulin, atau transplant, mengurangi suatu reaksi penolakan imunologis.
“Padahal
“Yang kedua, babi itu tidak punya leher, padahal kita diperintahkan untuk menyembelih hewan dibagian lehernya.”
Benar juga, seumur2 tidak pernah lihat leher babi, hihihi…
“Selanjutnya mari kita misalkan dalam 1 kandang kita masukkan dua babi jantan dan satu babi betina, di kandang yang lain kita masukkan dua ayam jantan dan dua ayam betina. Maka apa yang terjadi?”
Alasan yang ketiga ini membuat kami menebak-nebak.
“Kalau ayam jantan mereka akan memperebutkan yang betina menjadi pasangannya, dan ayam jantan itu tidak akan membiarkan pasangannya atau si ayam betina itu diganggu oleh ayam jantan lainnya.”
“Sedangkan pada dua babi jantan itu, mereka malah akan bergantian berhubungan dengan yang betina. Dan Islam menghindari sifat yang seperti itu!”
Sunday, April 5, 2009
That Circle
Lingkaran itu terdiri dari beberapa orang, kadang 4-5, kadang bisa 10 jika jumlah kami lengkap. Namun, berapapun, suasana yang dibawa tetap sama; sejuk, dan membuat rindu, entah mengapa…
Sore itu akhir minggu dari akhir stase, yang berarti minggu depan kami akan masuk stase baru berikutnya, membuat kami bisa menghirup nafas sedikit lebih panjang, apalagi bagi yang baru keluar dari stase besar dan akan masuk ke stase kecil, kehidupan koass. Hujan turun dengan diam-diam, tak pelak membuat kaca basah, jalanan basah, dan hatiku ikutan basah. Tuhan, senang merasakan siramanMu kembali, di lingkaran kecil ini aku merasa, Engkau ada.
Apa itu? Firasat, seperti kata
Hari ini tentang kesembuhan, tentang kesehatan, tentang keajaiban, tapi juga tentang kesombongan, tentang wewenang, tentang tugas, dan tentang masa depan itu sendiri.
Kami lebih banyak bercerita tentang kehidupan. Ayat2 kauniyah yang bertebaran. Menggali-gali kembali ingatan. Kadang menyangkal, kadang mempertanyakan. Banyak hal, mengenai apapun di sekeliling kami, keseharian, yang terasa begitu berat kadang, kini dilihat dari sisi yang berbeda, mendapat dukungan yang berbeda. Dan kembali. Itu intinya, kembali ke eksistensi kami sebagai hamba. Membangunkan kembali keimanan yang tertidur lelap berapa lama. Mengingatkan. Nasehat menasehati dalam menetapi kebenaran dan kesabaran. Menyadari bahwa jiwa ini rapuh, mudah berbolak-balik seperti daun yang tertiup angin.
Di tengah lingkaran itu kadang disediakan makanan, kadang hanya ada air yang bening. Semua itu lebih dari cukup, dan hanya pelengkap semata. Yang selalu ada di tengah-tengah lingkaran itu, di tangan kami, adalah Al Qur’an, sebagai cahaya, bukan sekedar bacaan pembuka. Semuanya dilandaskan dari
Friday, April 3, 2009
Mengurus Perpanjangan SIM...Sendiri
Seperti trenggiling yang bisa menjadi bola2 lalu menggelinding bebas, atau landak yang tak peduli jika hewan lain bisa tertusuk durinya. Aku memakai ‘filosofi’ ini untuk menghadapi hari itu. Saat aku harus mengurus perpanjangan SIM-ku sendiri di Polres Bekasi. Cuek dan tegar
SIM A – ku sudah kadaluwarsa hampir 2 bulan. Sebagai warga negara yang baik, maka aku berinisiatif mengurus perpanjangannya sendiri, tanpa batuan calo (huu…). Oke, tadinya aku memang akan meminta bantuan agen, mengingat waktuku tidak banyak, dan membayangkan betapa ribetnya urusan administratif seperti ini, belum2 sudah underestimated duluan. Untungnya (atau anehnya) agennya menolak, malah menyarankan untuk mengurus sendiri. Katanya hari gini pemilu, banyak polisi2. Trus? Perasaan ga ada hubungannya deh. Kemudian dia menyebutkan ancer2 biaya yang harus dikeluarkan, dan katanya pula mengurus SIM sekarang ini cepat, tidak perlu seharian nongkrong di Polres.
Okelah, batinku, coba saja.
Hm, bayanganku ternyata tepat. Saat aku turun dari kendaraan dan hendak masuk ke polres, orang2 yang berdiri di sekitar situ seperti sudah bisa membaca pikiranku, “Perpanjangan SIM, Neng? Yuk, abang bantu yuk!” cenanyang2 hebat bermunculan.
Waw, ogah banget deh , yang ada aku lari, hehe…
Tapi bukan gitu caranya. Entah belajar dari mana (mungkin dari pengalaman jadi preman kampung melayu 3 taun ya, hihihi..), aku mengangkat wajah, pandangan lurus ke depan, langkah kaki tegas lebar-lebar, dan jangan buang2 waktu dengan celingukan apalagi menanggapi mereka, pokoknya jangan terlihat kalau kita bingung dan siap ditipu lah. Pandangan memang lurus ke depan, tapi lapangan pandang kita maksimalkan dong, apa gunanya punya 2 mata kalau gitu coba (gebet cowok cakep, polisi ganteng… gubraks!). Perhatikan sekeliling, baca situasi, cari sesuatu yang bisa dipercaya, seperti tulisan ‘pengurusan SIM’ bla..bla..bla… Dan ternyata tulisan itu ada, tersembunyi di pojokan, tidak akan terlihat dari luar, kecuali anda sudah masuk ke serambi.
Agak lega, tapi masih melangkah dengan sikap sok tahu, kuikuti saja terus tanda panah-tanda panah itu, melewati lorong dengan berbagai ruangan-ruangan di samping-sampingnya, membingungkan. Jadi daripada kelamaan bingung, aku masuk WC saja dulu (trik nomor 14: miksi mengurangi ketegangan, mengosongkan kandung kencing, dan merupakan kesempatan emas untuk merapikan make up, hihihi…).
Selanjutnya kembali ke jalan yang benar, aku menemukan bapak2 bersegaram dalam box kaca bertuliskan informasi SIM. Hm, I think he’s Mr. Right. Jadi aku tanya padanya, darimana aku harus memulai jika ingin memperpanjang SIM.
Aku mengangguk cepat dan tidak berlama2 disana, karena ternyata aku harus keluar lagi, cek kesehatan di luar gedung. Wow, dimanakah itu? Kita lihat saja. Jadi aku pasang lagi aksi sok pede-ku, tanpa banyak bertanya, langsung lurus ke gang di samping polres. Gang itu makin lama makin menyempit, tapi tidak ada tanda2 atau tulisan poli kesehatan, yang ada malah tempat narkoba. Wuidih, hampir panik, tapi tahan..tahan.. keep cool, calm, confident. Ya, confident, itu yang penting. Aku masuk ke bangunan terakhir di ujung gang itu, tempat beberapa orang duduk di kursi panjang. Lagi2 tanpa tanda poli kesehatan. Mataku menangkap tulisan yang ditulis asal-asalan di sebuah kotak pulpen dari kertas di atas satu2nya meja disana, “SIM BARU”. Hm, setidaknya masih ada bau2 SIM-nya. Jadi aku langsung masuk saja ke bangunan itu, menemukan satu2nya ruangan dengan pintu terbuka dan berisi beberapa orang yang duduk di belakang meja. “Perpanjangan SIM, Mbak?” lelaki yang paling muda, tanpa seragam, di salah satu meja itu, adalah cenanyang kesekian yang kutemui hari ini. Dan kali ini aku menurut.
Tes kesehatan. Jadi lelaki itu meminta SIM lamaku, 2 lembar fotokopi KTP-ku, dan menanyakan tinggi serta berat badanku. Setelah itu aku pindah meja, kali ini seorang ibu-ibu dengan seragam, langsung membuka buku dihadapanku dan bertanya, “Ini?”
Aku menyebutkan angka yang tertulis. Empat kali di lembaran ischihara yang berbeda, lalu pertanyaan minus kacamataku. Well, cepat sekali pemeriksaan kesehatan ini. Aku pun membayar 22ribu (entah resmi entah tidak, karena tidak ada kuitansinya), lalu pergi dengan membawa selembar kertas kuning hasil pemeriksaan seadanya itu.
Oya, sebelumnya perlu kuperingatkan, agar membawa fotokopi KTP anda sebanyak 4 lembar untuk mengurus perpanjangan ini. Fotokopian di dekat situ mahal sekali, masa’ aku fotokopi 5x = 2000 perak, huhu...
Selanjutnya aku masuk kembali ke gedung polres, membayar asuransi sebesar 15ribu rupiah di salah satu loket. Kemudian berpindah ke loket lainnya bertuliskan PERPANJANGAN SIM RP. 60.000,-. Mengambil seberkas formulir yang harus diisi, dan teringat bahwa aku tidak bawa pulpen.
Ini saatnya menurunkan sedikit kadar kecuekanku dan mengintip korban yang tepat untuk dipinjam bolpennya. Pertama, seroang lelaki berkaus hitam, tapi ternyata ia mau ujian tertulis, jadi ia mengambil kembali bolpennya sebelum aku sempat memakainya. Kemudian, dan ini yang terakhir, korban yang lebih aman, mbak2 yang lagi duduk terbengong2, dan dia bawa bolpen. Thank’s a lot, mbak! Jadi bagaimana cara mengisinya? Aku dengan bodoh 2x bolak-balik ke loket krn ada yg belum terisi, dan tampaknya petugas loket itu mengerti, oh mungkin aku sendirian yang bodoh.
Setelah mengembalikan formulir di loket III (untuk mengurus SIM baru di loket II), aku duduk dan memulai fase penantianku. Aku bisa lebih bebas mengamati sekarang, tempat pengambilan foto di sebelah dalam, dan tempat tes tertulis di dalamnya lagi dimana banyak orang duduk-duduk. Wah, aku tidak ingat dulu aku melakukan semua itu (ya iyalah, orang SIM aja nembak!).
Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk panggilan itu. Bapak berseragam di dalam box kaca informasi SIM yang melakukannya dengan suara lantang dan logat sunda yang kentara. Aku foto, tanda tangan, dan cap jempol tangan kanan dan kiri. Kemudian aku dipersilakan menunggu lagi di tempat yang sama.
Tak lama TOA di loket IV bergemerisik, menyuarakan beberapa nama dengan namaku diantaranya, dan sang petugas menyerahkan SIM baru kami. Total aku menghabiskan waktu satu jam dan rupiah 99.000,- untuk sebuah perpanjangan SIM dan kartu asuransi dengan jangka 5 tahun ke depan, sesuai dengan ancer2 yang disebutkan si agen yang sempat menolakku.
Aku turut berbangga, untuk kejujuran (dan memang sudah seharusnya begitu