Aku tidak perlu untuk tahu kenapa, apa, untuk memberi respon ya-ya. Nomor yang tidak biasa dipakai, jam yang tidak biasa digunakan, daddy yang jarang menelepon, semua itu sudah cukup sebagai sinyal, ada sesuatu yang berbeda, yang amat besar membutuhkan perhatianku, dan aku, akan datang.
Aku berjanji. Besok. Tapi setelah telepon ditutup aku jadi bertanya-tanya, tidak terlalu lambatkah aku jika besok? Akankah terlambat aku jika besok?
Kemudian aku menggunakan suara anak-anakku untuk bicara, untuk menutupi sedihku, untuk menghalangi getaran suaraku, yang merambatkan ketakutanku. Aku memakai gaya cuekku, tak acuhku, tanpa tatapan langsung ke mataku, untuk mencegah air mataku jatuh satu-satu.
Biarkanlah aku menangis hanya di hadapan Tuhan, sendirian, dalam sepi, sunyi, tulisan, huruf-huruf. Biarkan pundakku bergetar hanya saat aku tersujud, saat ayat-ayat panjang dibacakan, saat Tuhan menyentuh hatiku di relungnya yang paling dalam.
Biarkan aku diluar bisa tersenyum, bisa memberi saran pada oranglain, bisa mendengarkan cerita mereka, menanggapi candaan mereka, kemudian aku pun cukup tegar mengurus sisanya sebelum perjalananku pulang.
Esok senja, mungkin aku di kereta, jika benar itu rencanaNya.
No comments:
Post a Comment