Ada fase2 dalam hidup kami dimana kami bisa begitu dekat dengan pasien2 kami. Bukan keluarga, bukan kerabat, tapi mereka telah menjadi bagian dari hidup kami, yang membuat kami ada.
Suatu saat rasa kehilangan yang mengejutkan itu muncul jika tiba2 mereka tiada. Seperti pada suatu pagi saat kemi bertiga follow up pasien di bangsal yang sama.
“Des, yang belum di follow up siapa aja?”
“Bu ini, bu itu, bu ini, bu itu....” sibuk menyebutkan satu demi satu nama pasien yang sudah amat familiar bagi kami.
“Bu D***** sudah?”
“Yud, Bu***** kan sudah meninggal semalem...”
Hening sejenak. Rasa sesal, mungkin tidak rela, kecewa, atau sedih. Aku menemukan orang2 yang begitu tampak demikian ketika pasien2nya meninggal. Memang sudah saatnya, tapi kadang kami terus bertanya2. Kenapa? Apa yang salah? Kok bisa? Seakan tidak rela.
Dan fase2 kedekatan itu seringkali diperkuat saat kami jaga bangsal. Artinya hidup 24 jam di bangsal itu. Kadang benar2 24 jam non stop tanpa tidur. Tapi kupikir itu worthed kok. Justru saat itu kami bisa dapat banyak pelajaran.
Suatu hari setelah semalaman jaga aku ngobrol dengan temanku.
“Pernah lihat cheyne stokes nggak?”
“Cheyne stokes itu tipe pernafasan yang gini kan?” temanku menggambar garis datar kemudian gelombang yang ampliudo dan frekuensinya makin tinggi lalu menghilang lagi menjadi datar. “Pasien apa?”
Diantara semua pasien, aku masih mengingat diagnosisnya, “Hipertensi, CHF (congestive heart failure), post stroke.”
Setelah laporan pagi, kami mendatangi bed pasien itu. Mungkin karena merasakan kedatangan kami, ia membuka matanya. Aku mencoba menyapanya, menanyakan keluhannya semalam apakah sudah berkurang. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menjawab, membuatku merasa bersalah karena membuatnya harus berusaha begitu keras untuk menjawab pertanyaanku. NYHA IV kurasa.
Temanku mengeluarkan stetoskop dan mendengarkan suara nafasnya. Menghitung satu menit dan menemukan pasien itu setidaknya berada dalam fase apneu sekitar 25 detik sebelum kemudian bernafas makin cepat dan dalam.
“Istirahat ya Bu...” pesanku sebelum kami meninggalkannya.
Tiba2 saja tangannya terjulur pada temanku yang sudah beranjak terlebih dahulu. Aku mengamit lengannya, sepertinya wanita itu mengajaknya bersalaman. Dan ketika temanku membalas jabatan tangannya, wanita tua itu menarik perlahan tangan temanku ke pipinya, menciumnya dengan begitu haru. Lalu bergantian dengan tanganku. Aku membiarkan tanganku diusapkan ke ke dua pipinya, mencoba tersenyum walau masih terkejut dengan sikapnya. Lalu seorang pria tua, suaminya, datang, tersenyum pada kami, dan berterimakasih dengan tulus.
Tuhan... bukankah kami yang seharusnya berterimakasih karena baru saja kami belajar darinya?
Sebab itu, sangat penting untuk berusaha sebisa mungkin bersikap sabar dan ramah pada pasien. Seberapa lelahpun, jika masih bisa membantu, lakukan saja. Karena tahu tidak, ternyata itu samasekali tidak menyebalkan. Itu menyenangkan. Ada kepuasan tersendiri ketika pasien kita bisa merasa lebih baik, meski bukan menyembuhkan, karena kesembuhan sungguh benar2 bukan hak kita.
No comments:
Post a Comment