Sunday, February 21, 2010

TS

Saya seorang dokter sekarang, kami memanggil sesama dengan TS, teman sejawat. Sebutan yang hanya ada di profesi ini, tidak dikenal di bidang lain apapun. TS artinya kami sama2 menghormati profesi kami, dan lebih itu kami adalah layaknya saudara (krn kalau benar2 saudara berarti banyak dari kita yg incest kan? Hehe).


Semuanya dimulai dari masa2 pendidikan kami, pendidikan yg 6 tahun itu (udah kaya” anak SD). Empat tahun di kelas dan dua tahun di kepanitraan. Dimanapun itu, kami dituntut untuk kompak, untuk bisa kerja tim, untuk tidak menang sendiri, untuk tidak saja adu argumentasi tapi kerja nyata, untuk bisamenghargai orang lain karena itulah satu2nya cara menghargai diri sendiri, untuk tidak MT (makan temen), untuk menyelamatkan ‘nyawa” orang lain karena itulah ‘nyawa’ kita juga. Coba bayangkan saja, di semester awal bagaimana kami bisa melakukan percobaan spermatologi kalau tidak ada yang mau jadi donor, di anatomi bagaimana bisa lulus kalau teman sekloter nilainya jauh banget sama kita, lalu PK, PA, mikro, dst sampai di tugas akhir KI (karya ilmiah) kesabaran kita diuji berkali2. Awal2nya ringan, makin lama main berat secara bertahap. Lalu di kepanitraan klinik ujian itu benar2 terasa, karena pernah 7x24 jam bersama, dengan semua sifat buruk orang, kekurangan, kearoganan, ditambah keletihan, masalah pribadi, dll2. Hingga saya sempat merasa, suatu hari ketika kami dari gender yang berbeda terpaksa tidur di kamar yg sama, apakah tidak layaknya saudara yg seperti itu? Kami bahkan lebih dekat, lebih sering mempunyai waktu bersama, dibandingkan dengan waktu kebersamaan kami dengan saudara2 kandung kami.


Lalu, bagaimana kami bisa tidak saling menghormati, menghargai, menyayangi? Kalau bukan kita yang menghargai saudara kita, lalu siapa lagi?

Kebahagiaanmu Kebahagiaanku

Rasanya puas kalau bisa membantu orang lain, rasanya seperti… sudah melakukan hal yang benar, dan itu meningkatkan penghargaanku pada diriku sendiri, haha!

Tiga hari jaga di klinik di pinggiran metropolitan pada minggu yang berbeda. Minggu pertama pasien paling mengesankan adalah pasien KDK (kejang demam kompleks), yang setelah kudiskusikan dg ’supervisor’ku ternyata sudah masuk status konvulsivus. Dan alhamdulillah menurut beliau langkah yang kulakukan sudah benar, dengan segera merujuknya ke rumah sakit terdekat setelah memberikan stesolid dan proris rektal, oksigen, dan (sedikit) menenagkan ibunya. Di hari pertama itu juga rasanya aku dites untuk mengambil darah balita. Wah, tau sendiri aku paling phobi kalau disuruh nusuk anak2, sudah pembuluh darahnya kecil, gerak melulu, ditambahnya akunya yang kurang terampil. Tapi perawat itu sungguhan tidak bisa melakukannya. Ia sudah mencoba beberapam kali, beberapa lama, hingga kemudian ia tampak menyerah dan memintaku melakukannya. Hm, aku tak yakin, api akan kucoba. Kutanya sebelah mana yang belum ditusuk, ternyata di punnggung kakinya, ada gambaran vena superfisial tipis, tapi lumayan jelas, jadi seharusnya aku bisa kan? Tak kan ada yang percaya aku bisa sampai aku mempercayai diriku sendiri, jadi kulakukan saja, dan alhamdulillah berhasil walau cuma dapat 1 cc. Tuhan Maha Baik, aku sudah hampir menyuruhnya pergi, tapi aku tahu aku harus melakukan yg terbaik semaksimal mungkin dulu.

Pada minggu kedua, pasien paling unik adalah gadis ABG yang digotong masuk beberapa lelaki muda. Ia pingsan. Aku langsung meminta ijin pada pasien yang sedang kuperiksa untuk menangani kasus itu dulu. Ketika kudekati, menilai dengan cepat keadaan umumnya, tanda vitalnya, aku tahu, aku pernah menemui kasus seperti ini sebelumnya, tidak ada yg perlu dikhawatirkan. Matanya terpejam, tapi aku tahu tidak sungguh2 terpejam. Saat dipanggil2 dan kutepuk pelan, ia menyahut dan mengeluh sakit kepala. Ia berpura2, atau mungkin lebih tepatnya ia ingin lari tapi tak menemukan tempat bersembunyi sehingga memejamkan mata dan menjadi sakit adalah pilihan yang paling mudah. Ya, dia pasien konversi histeri, kutulis demikian di statusnya saat perawatku bertanya, ia akan baik2 saja. Yang menyentuh hatiku, gadis itu masih sangat muda, masih anak2, entah apa masalahnya karena yg mengantar bercerita dengann tidak begitu jelas dan aku tidak berniat mengorek2nya. Ia seumuran adik bungsuku, seharusnya ia aman di rumahnya, di tengah2 keluarganya. Saat pasienku habis, dan berkesempatan mendekatinya berdua saja, aku mengatakan agar ia tenang dan tegar, ia tak sendirian, dan ia bukan berada di posisi yang terburuk. Oya, namanya mencerminkan agamanya, jadi dengan jelas kuingatkan untuk percaya pada Tuhannya. Setelah ia makan dan minum obat, ia bisa pulang dengan menyunggingkan senyum. Betapa bahagianya aku mendengar ucapan terimakasihnya yang tulus. Aku tidak berhak untuk menerimanya, tapi aku rasa aku cukup berhak untuk ikut bahagia.

Di minggu ketiga aku terkejut waktu diberitahu ada insentif dari RS dimana kurujuk pasien KDK 2 minggu yang lalu. Aku baru tahu ada program macam itu, kerjasamakah, ataukah ini cara mereka menarik pasien? Entahlah. Hari itu pasien yang paling mengesankan adalah seorang wanita setengah baya yang datang dengan dibopong. Sebelumnya perawatku mengatakan bahwa tadinya dia hanya mau cek asam urat, tapi sayangnya lab sudah tutup. Hey, itu bukan ’sayangnya’, itu adalah ’untungnya’. Karena setelah kuperiksa ia menunjukkan tanda2 stroke progresif, bukan sekedar asam urat. Tadinya aku percaya saja kata2 keluarga yang mengantarnya. Tapi bukan dokter namanya jika tida melakukan pemeriksaan fisik kan? Di situlah aku baru merasakan kepentingannya. Ketelitian penilaian kita sangat menentukan diagnosis, yang berarti juga menentukan pengelolaan selanjutnya. Pasien itu kurujuk dengan pesan2 yang tegas agar tak menundanya sama sekali. Dokter tahu betapa mengerikannya penyakit itu, tapi orang awam belum tentu mengerti, jadi kewajiban dokterlah melakukan yang terbaik untuk mereka. Alhamdulillah Tuhan masih melindungiku sampai sekarang, aku harap akan demikian dan semakin demikian.

Oya, sebagai penutup, pasien terakhir kemarin memberikanku pelajaran agar sebagai seorang dokter kita harus yakin dan tidak mudah menyerah. Aku ekstraksi corpus alienum dari CAE seorang bocah. Hampir saja, sudah terpikir, untuk merujuknya ke spesialis THT, tapi....ah tidak, sampai kuusahakan semampuku. Dan akhirnya dengan pinset bayonet itu alhamdulillah ekstraksi berhasil dilakukan. Anak itu tersenyum lega, hilang sudah keluhan telinganya. Aku ikut tersenyum lega, lega luar biasa. Terimakasih untuk semua anugrah kebahagiaan itu ya Tuhan. Sungguh, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga.

Friday, February 5, 2010

Being A Doctor

Profesi ini ternyata tdk ringan. Senantiasa membuatku beristighfar stlh pasien keluar dari ruangan, dan mengucap ayat2 al qur'an apa saja yg kuingat saat sedang melakukan tindakan. Aku baru merasakan tgjwb yg begitu bsr. Ketika kita tdk bs fokus pd pasien, krn blm selesai kita memikirkan mslh pasien yg satu sudah saatnya kita mengambil keputusan dan menulis resep lalu beralih ke pasien berikutnya, yg juga tak ingin kita buat menunggu lama krn ia kemaripun sudah menahan sakitnya. Hingga akhirnya keluhan2 mereka terdengar sama, membuat kita melakukan manuver yg sama, lalu mengulang kata2 nasehat yg sama. Kita tdk ingat namanya, kita hanya ingat (spt judul2 laporan semasa koass dulu) 'seorang wanita 20th dengan bla bla bla'. Jd kita menyebutnya, oh anak dg suspek megakolon itu!
Bukankah itu melelahkan? Membosankan, dan menumpulkan analisis serta kepekaan kita?
Kita kadang butuh sebuah rehat, bukan sekedar rehat untuk memejamkan mata dan meluruskan badan, tp juga rehat untuk mengantisipasi keterkejutan kita, untuk memahami mslh pasien kita, untuk berdiskusi akan kekurangan kita. Lalu menginsyafinya. Saat itulah kita bljr untuk mjd kita yg lbh baik, berprofesi dg cara yg lbh baik, bersimpati dg sgala perasaan yg baik, kita tdk cukup lelah untuk mjd lbh baik. Sebab kenyataannya kebahagiaan kita bukan pd sekedar materi saja. Kebahagiaan kita adl kepercayaan mereka,terimakasih tulus mereka, dan kekeluargaan yg kemudian sukarela mereka utarakan.
Tgjwb profesi ini bsr, jauh lbh bsr drpd upah materinya, tp saya rasa sepadan dg semua kepercayaan mereka. Kepercayaan pasien pd dokternya. Itulah sebabnya kita tdk boleh berhenti belajar, berusaha, dan bahkan berdoa untuk mereka. Kesembuhan memang bukan di tgn kita, tp kita ikut bertanggungjwb atasnya.
Semoga kita dpt menjalankan amanah itu dg sebaik2nya.