Wednesday, April 29, 2009

rencanaNya

Aku tidak perlu untuk tahu kenapa, apa, untuk memberi respon ya-ya. Nomor yang tidak biasa dipakai, jam yang tidak biasa digunakan, daddy yang jarang menelepon, semua itu sudah cukup sebagai sinyal, ada sesuatu yang berbeda, yang amat besar membutuhkan perhatianku, dan aku, akan datang.

Aku berjanji. Besok. Tapi setelah telepon ditutup aku jadi bertanya-tanya, tidak terlalu lambatkah aku jika besok? Akankah terlambat aku jika besok?

Kemudian aku menggunakan suara anak-anakku untuk bicara, untuk menutupi sedihku, untuk menghalangi getaran suaraku, yang merambatkan ketakutanku. Aku memakai gaya cuekku, tak acuhku, tanpa tatapan langsung ke mataku, untuk mencegah air mataku jatuh satu-satu.

Biarkanlah aku menangis hanya di hadapan Tuhan, sendirian, dalam sepi, sunyi, tulisan, huruf-huruf. Biarkan pundakku bergetar hanya saat aku tersujud, saat ayat-ayat panjang dibacakan, saat Tuhan menyentuh hatiku di relungnya yang paling dalam.

Biarkan aku diluar bisa tersenyum, bisa memberi saran pada oranglain, bisa mendengarkan cerita mereka, menanggapi candaan mereka, kemudian aku pun cukup tegar mengurus sisanya sebelum perjalananku pulang.

Esok senja, mungkin aku di kereta, jika benar itu rencanaNya.

Saturday, April 25, 2009

Some credibility, I guess

Aku senang sudah berhasil mencabut gigi pasien hari ini. Memberikan kelegaan, menambahkan kepercayaan. Yang kalau kata temanku, meningkatkan kredibilitas. Alhamdulillah…

***

Pasienku seorang anak laki-laki berbadan besar, masih mengenakan seragam pramuka, dan terus dielus-elus ibunya yang tampak tak ingin melepaskan anaknya sendirian dirubung koass. Anak mami, benar2 tantangan, batinku saat tiba-tiba ditunjuk, “Baru sekali ekstraksi kan?”
Oke, yang satu dan yang pertama kali itu pun bukan aku sepenuhnya yang melakukan, giginya fraktur, terpaksa kuberikan pada dokter gigi yang bertugas. Kali ini aku ingin geleng, ingin menolak. Jangan pasien yang itu ah, ga pede, dipelototin ibunya terus lagi!
Tapi kenyataan bahwa kami nanti sebagai dokter tidak bisa pilih2 pasien (sementara pasien bebas pilih2 dokter), membuatku tak sempat berpikir untuk menolak. So, I take the challenge!

Kemudian alat-alat pun tersedia. Aku mengambil sarung tangan dan mulai memeriksa apakah anestesinya sudah bekerja. Bagus, sudah luksasi, seharusnya ini tidak sulit kan? Setelah yakin pasienku tidak kesakitan dan kulakukan ekskavasi, aku seperti biasa, meminta ijin pada dokter gigi poli yang sedang sibuk karena banyaknya pasien di hari sabtu sementara dia sendirian ditemani 18 koass minggu ke-3 (itu sih namanya bukan sendirian!)

Yup! Bismillahiraahmanirrahim! Posisiku dari depan, siap dengan tang pencabut nyawa… eh gigi maksudnya. Sudah siap beraksi begitu, tiba-tiba ibu si pasien protes, “Kok bukan sama dokter A** (dokter gigi poli satu2nya disitu yang tadi kumintakan ijin)?”
Aku tersenyum dengan wajah terturup masker (jadi percuma, dodol!), “Ini giginya sudah goyang, Bu!” jawabku walau tak relevan dengan pertanyaannya. Yang penting cabut dulu.

Dan tak lama… Jreng jreng! Inilah hari bersejarah itu. Hari dimana ketika aku mengeluarkan tang dari mulut pasien dengan beak-nya telah mencengkeram sebuah gigi utuh plus karies2nya. Kutunjukkan pada ibunya dengan pertanyaan candaan kami, “Mau dibawa pulang?”

Sang ibu tampak lega. Anaknya juga, tidak merasa kesakitan atau pusing. Aku apa lagi, lega banget! Setelah kutunjukkan pada dokter A** bahwa giginya utuh, tidak ada yang bagian tertinggal, aku meminta pasienku menggigit tamponnya agar perdarahan cepat berhenti. Saat itulah kulihat ibunya ikut-ikut konsultasi tentang giginya ke rekan koassku yang lain. Ibu itu tampaknya mulai percaya pada segerombolan dokter muda ini.

Kepercayaan pasien merupakan hal yang membanggakan dan membahagiakan bagi kami. Ekstraksi, atau cabut gigi sebenarnya bukan kompetensi dokter umum. Beberapa universitas di Indonesia bahkan telah meniadakan stase ini bagi calon dokter umum mereka. Tapi disini kami masih mempelajarinya. Kami dipersiapkan untuk kelak saat kami harus PTT di daerah-daerah terpencil, dimana ada fasilitas cabut gigi tapi tidak ada tenaganya, dokter gigi atau perawat gigi, maka kami, dokter umum, sanggup melakukannya dengan lege artis.

Sebelum pasien itu pulang kunyanyikan edukasi pasien post-ekstraksi kami, “Kapasnya dilepas setengah jam lagi ya, Dek! Boleh minum dingin, tapi jangan minum yang panas2 dulu! Kalau kumur janga keras2 ya! Ini resep obatnya, diminum ya!”

Aku tersenyum. Terimakasih atas kepercayaan Anda!

Friday, April 24, 2009

Damn it!

Bagian yang paling tidak kusukai dari perselisihan adalah keributan. Keributan, apapun bentuknya, ribut-ribut, apalagi jika tidak menyelesaikan masalah, malah menambah rumit, tambah tegang, stress, personal relationship jadi minus-minus-minus, (kaya’ di The Sim’s kalo anda para gamers).

Bisakah kita bicara pelan, tidak terburu-buru, dan berpikir dulu. Sebelum berpikir kita harus mendengar, dan supaya bisa mendengar dengan baik kita harus diam. Jika lawan bicara sudah selesai, baru giliran kita yang bicara. Bisakah? Kita kan punya dua telinga dan satu mulut. Maka setidaknyaharus mendengar dua kali. Sekali mendengar dengan daun telinga, dan sekali lagi mendengarkan dengan hati dan meminta fatwanya. Sementara itu otak punya waktu yang cukup untuk dialiri oksigen, jadi bisa berpikir dan memilah-milah.

Bayangkan, saat kita bicara berarti kita berhenti bernafas, pasti otak juga sudah megap-megap dan berhenti buat berpikir. Jika sudah demikian yang keluar dari mulut kitapun seadanya, sekenanya, seenaknya. Apalagi kalau pakai ego, diri pasti merasa paling benar, dan yang lain salah semuanya.

***

Suatu siang aku terjebak dalam keributan. Di tempat dimana aku mau makan lagi!
Damn it!
Jadi aku diam, menunggu selesai, lalu bicara secukupnya, dan menyingkir untuk meneruskan acara makanku yang tertunda.

Thursday, April 23, 2009

Pasien baik hati vs Koass dodol

Sedang asyik-asyiknya mengerjakan pasien eksodonsi siang itu, di klinik gigi mulut tempatku bertugas dan belajar, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil. Kertas kuning melambai2. Oh, aku ujian sekarang?!
Masih memakai hanscoon (sarung tangan), belum sempat kuperiksa apakah infiltrasi pada pasienku tadi berhasil, aku terpaksa meninggalkannya tanpa melihat dulu prosesi pencabutan giginya. Gigi molarnya goyang, dari oral diagnostic, kami sepakat diagnosanya periodontitis marginalis et causa retraksi ginggiva. Hm, lupakanlah, aku punya pasien baru sekarang. Pasien ujianku.

“Yang, mana dok?” tanyaku pada dokter gigi yang memberiku kertas kuning.
“Itu, yang lagi hamil!”
Dueng! Lagi hamil??? Terbayang betapa kompleks masalah pasien ini. Lagi hamil, terus mau kukasih obat apa? Padahal aku tahu penyakitnya saja belum, hehe… Atau jangan2 hipertrofi gingivitis atau epulis gravidarum? Wah, belum pernah lihat nih..
Penasaran, campur aduk dengan tegang, deg-degan, cemas, kutemukanlah pasien ujianku sudah duduk manis di salah satu dental unit biru. Satu2nya pasien hamil di ruangan itu, dan satu2nya pasien dengan pipi yang melembung. Waduh, abses nih, judge-ku langsung. Abses apa ya?
Grogi, pertama2 persiapkan alat, menyapa pasien, dan agak tenang, karena sang ibu meskipun hamil, mulutnya kesakitan, dan jadi bahan ujian koass (yang ini sepertinya dia ga tau deh), masih tetap kooperatif dan mau menjawab pertanyaanku dengan bersahabat.
“Namanya siapa bu? Iya, pekerjaan? Alamat? Umurnya berapa, Bu?”
Wah, ternyata kita seumuran lho! Batinku. Cuma dibatin, tanpa berani ngomong langsung. Habis, sudah kalah 1-0 duluan. G1P0A0, 23 tahun, hamil 34 minggu lho, hehe..
“Rujukan atau datang sendiri, Bu?”
Si ibu langsung menunjuk-nunjuk lehernya.
“Oh, punya sakit gondok ya, Bu?”
“Hipertiroid, Mbak!” sahutnya antusias.
Hyah, keren juga ibu ini, tahu istilah hipertiroid! Aku tersenyum, dan menuliskannya di status.
Pertanyaanku berlanjut ke riwayat penyakitnya. Pipi kiri bengkak 2 minggu, sakit, makin lama makin besar, susah buka mulut. Trismus! Aku ingat diagnosis bandingnya setidaknya ada tiga macam: abses bukal, abses sub/perimandibula, atau flegmon. Flegmon jelas tidak mungkin, karena flegmon harusnya simetris, kondisi pasien juga buruk sekali.
Aku mulai memakai hanscoon baru, lalu palpasi. Pencet sana, pencet sini, raba sana, raba sini, fluktuasi kah? Perabaannya keras, batasnya tidak tegas, tepi rahang tak teraba, pembesaran limfonodi negatif. Hm, masih bingung. Tambah bingung waktu akan meriksa intraoralnya. Trismus 1 cm, gimana cara meriksanya? Kaca mulut masuk, lampu dipaskan dengan susah payah, yang kelihatan hanya sampai premolar. Gusinya bengkak, bernanah (ini fistel bukan sih?), kadang berdarah, dan sederet giginya goyang meski baru derajat II. Kasihan benar ibu ini, 2 minggu tidak bisa makan, gimana nasib bayinya…
Akhirnya kuputuskan ia menderita osteomyelitis. Dan setelah dimajukan ke pengujiku, ternyata… dong dong!!!
“Mana osteomyelitis? Ini abses bukal!”
Hya…! Salah, Bu…!

Pasien ujiankupun dirawat inap, mendapat antibiotik yang sesuai jatah untuk pasien jamkesda, dan semoga… get better soon!
Terimakasihku untuk semua pasien2ku, tempat aku banyak belajar, dan tempat mereka bersabar menghadapi koass2 macam aku… Semoga Tuhan membalas kebaikan2 mereka, dan menjadikan aku dokter yang professional.
Semangat!!!

Wednesday, April 22, 2009

Kapan gigi harus dicabut?

Cabut gigi atau ekstraksi adala tindakan mengeluarkan gigi dari socketnya dengan prosedur asepsis dengan alat dan instrumen tertentu.

Socket adalah tempat akar gigi tertanam, yaitu pada tulang alveolar yang dikelilingi oleh jaringan penyangga gigi atau periodontium.

Alat yang digunakan biasanya berupa tang yang terdiri dari beberapa jenis sesuai dengan jenis giginya, bein untuk melonggarkan gigi dari socket-nya, dan cryer untuk mengambil gigi dengan sisa akar atau akar ganda.

Ekstraksi sendiri bukan merupakan tindakan yang terbaik, karena setelah itu dapat menimbulkan masalah. Sehingga ada indikasi tertentu kapan gigi harus dicabut. Sementara prinsip dari terapi gigi sendiri adalah konservasi atau pertahankan selama masih bisa dilakukan.

Cabut gigi perlu dilakukan jika ada salah satu indikasi berikut:
1. Gigi sebagai fokal infeksi; yaitu gigi dengan kematian pulpa, misalnya gangren pulpa atau gangren radiks

2. Persistensi; dimana gigi permanen/dewasa sudah tumbuh namun gigi susu belum tanggal, maka gigi susu harus dicabut

3. Perforasi radix; biasanya pada akar gigi susu yang menembus gusi sehingga menyebabkan iritasi dan luka yang disebut ulkus dekubitus

4. Erupsi dificilis; atau impaksi, merupakan kesulitan erupsi yaitu gangguan pertumbuhan gigi dimana secara anatomis gigi tidak tumbuh sebagian atau seluruhnya

5. Periodontitis marginalis; peradangan jaringan penyangga gigi, kronis, hingga gigi goyah

6. Fraktur gigi; gigi yang patah dimana secara klinis keberadaan gigi d mulut sudah tidak ada gubanya

7. Indikasi ortodonsi (kawat gigi)

8. Indikasi prostodonsi (gigi tiruan)

9. Pre terapi radiasi

10. Malposisi (kelainan posisi) yang menyebabkan iritasi jaringan sekitar

11. Malposisi yang menyebabkan gangguan estetika

Monday, April 6, 2009

For The Miracle of Marine



Kakak tolong!!! Aku dikeroyok!!!

Kenapa daging babi haram, Kak?!

 

Tulisan itu seperti tulisan mesin ketik.

Singkat, padat, layaknya pesan S.O.S.

Dikirim dari ratusanribu kilometer di tengah samudra tanpa sinyal komunikasi.

 

Ican. Satu nama itu langsung hadir di benak Ufa.

Ican yang dikeroyok, dipukuli, dijejali babi! Pikiran itu memenuhi kepala Ufa. Padahal selama ini Ican berhasil mengindar. Setidaknya dari perkelahian. Puasa Ramadhan kemarin ia gagal 8 hari, bukan karena sakit tapi karena aturan ketat di kapalnya, masih untung bisa mempertahankan 22 hari. Tapi sekarang, setelah insiden alkohol itu…

 

“Kamu minum, Can?!” suara Ufa naik beberapa oktaf.

“Ya, enggak lah. Ican semburin. Tau deh, ada yang masuk atau enggak!” suara Ican diseberang sana. Suara pria muda yang mengejar cita-citanya. Yang sebelum kepergiannya ke akademi itu bagi Ufa adalah sosok adik yang tembem, tidak mencolok dalam hal akademik, dan jago strategi saat main game.

 “Rasanya apa?” Ufa masih penasaran, memancing-mancing. Ia adik Ufa satu-satunya, harapan kedua orangtuanya, kini berada jauh di batas Indonesia, bagaimana gadis itu jadi tidak khawatir.

“Pedes, pahit, panas, hu uh!”

Ufa berdoa dalam hati. Memuntahkan nasehat sebanyak-banyaknya, semampu yang ia bisa, melintasi batas benua dan samudra. Sebenarnya ia takut sekali. Tapi entah kenapa jalan ini yang dipilihkan Tuhan untuk Ican, setidaknya begitulah menurut keyakinannya. Ia ingat betul doa Ican kala itu, saat ia diterima di perguruan terbaik di kotanya, bahkan di negeri ini, selepas SMA. “Ya Allah jika ini yang terbaik untukku, maka mudahkanlah jalanku…”

 

Ufa menegakkan kepala, mendapati kelas yang penuh, beberapa teman Ufa berjilbab, sebagian besar muslim, dan yang bukan muslim pun sangat toleran. Ia mendapati zona amannya. Zona aman yang tidak dimiliki Ican di tengah samudra antar benua.

Ada yang tahu kenapa daging babi haram?” seru Ufa dari tempat duduknya.

Respon dari beberapa teman berdatangan, “Aku punya file-nya, Fa!”

Ufa tersenyum. Ican tidak akan sendirian disana, bukankah Allah selalu bersamanya, menjaganya. Ia juga akan berusaha semampunya, seperti yang dipesan orangtuanya.

 

Ufa mengumpulkan informasi-informasi itu. Searching di internet, bertanya sana-sini, bersikap kritis seperti kebiasaannya. Kemudian, setidaknya ia mendapatkan tiga fakta itu. (Baca: Kenapa Babi Haram?). Lalu cepat-cepat ia balas email itu, seraya bertanya dengan harap-harap cemas.

Ican, beneran kamu dikeroyok?!

 

***

 

Sebenarnya aku ingin bertanya; keyakinan macam apa itu? Maksudku, bagaimana ia, juga Ican dan kedua orangtuanya yakin bahwa inilah jalan yang terbaik? Yang paling aman, dengan iman sebagai taruhannya?!

Aku ingin bertanya dengan keraguan macam itu. Namun kemudian urung. Karena pada kenyataan Ican bisa bertahan (dan semoga) hingga akhir.

Jika tidak ada yang memulai seperti dirinya. Jika tidak ada muslim yang kuat islamnya, yang berani mengambil langkah menembus batas samudra, berlayar di kapal besar kelas dunia, lalu siapa yang akan menjadi nahkoda pengendali kapalnya?

Indonesia adalah negara maritim yang belum tergarap dengan baik wilayah perairannya. Kita masih butuh banyak ‘ican-ican’ lainnya.

Teriring doa untuk mereka, the miracle of marine.

 

Kenapa babi haram?


“Kenapa babi haram?”

“Sebab diharamkan di Al-Qur’an, dan Al-Qur’an adalah pegangan hidup seorang muslim.”

“Ya, saya tahu, tapi kenapa?”

Mendadak ia merasa bodoh. Mendadak, tapi sebenarnya tidak juga, ia pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya, beberapakali, dan ia masih saja tak mengerti.

Jika baginya sendiri, jawaban itu cukup. Sederhana dan masuk akal. Ia muslim, ia meyakini Al-Qur’an, dan ia melaksanakannya, toh masih banyak makanan yang halal juga. Tapi mungkin masalahnya tidak sesederhana itu bagi orang lain, apalagi bagi seorang teman yang bukan muslim. Penasaran. Ia jadi ikut penasaran dan mencari jawabannya. Kali ini yang seilmiah mungkin, masuk logika manusia, dan bisa dijelaskan.

 

“Setidaknya ada tiga hal,” dalam sebuah diskusi kelompok kami bersemangat membahasnya. “Pertama, DNA babi mirip dengan DNA manusia.”

Ya, ya, dia sudah tahu itu. Ia tahu benar itu. Makanya banyak bagian dari babi yang digunakan pada, misalnya, pembuatan insulin, atau transplant, mengurangi suatu reaksi penolakan imunologis.

“Padahal kan babi banyak penyakitnya, dan itu berpengaruhnya pada mutasi genetiknya. Jika dimakan manusia, nanti manusia dengan mudah dapat terkena penyakit-penyakit itu.”

 

“Yang kedua, babi itu tidak punya leher, padahal kita diperintahkan untuk menyembelih hewan dibagian lehernya.”

Benar juga, seumur2 tidak pernah lihat leher babi, hihihi…

 

“Selanjutnya mari kita misalkan dalam 1 kandang kita masukkan dua babi jantan dan satu babi betina, di kandang yang lain kita masukkan dua ayam jantan dan dua ayam betina. Maka apa yang terjadi?”

Alasan yang ketiga ini membuat kami menebak-nebak.

“Kalau ayam jantan mereka akan memperebutkan yang betina menjadi pasangannya, dan ayam jantan itu tidak akan membiarkan pasangannya atau si ayam betina itu diganggu oleh ayam jantan lainnya.”

“Sedangkan pada dua babi jantan itu, mereka malah akan bergantian berhubungan dengan yang betina. Dan Islam menghindari sifat yang seperti itu!”

 

Sunday, April 5, 2009

That Circle


Lingkaran itu terdiri dari beberapa orang, kadang 4-5, kadang bisa 10 jika jumlah kami lengkap. Namun, berapapun, suasana yang dibawa tetap sama; sejuk, dan membuat rindu, entah mengapa…

 

Sore itu akhir minggu dari akhir stase, yang berarti minggu depan kami akan masuk stase baru berikutnya, membuat kami bisa menghirup nafas sedikit lebih panjang, apalagi bagi yang baru keluar dari stase besar dan akan masuk ke stase kecil, kehidupan koass. Hujan turun dengan diam-diam, tak pelak membuat kaca basah, jalanan basah, dan hatiku ikutan basah. Tuhan, senang merasakan siramanMu kembali, di lingkaran kecil ini aku merasa, Engkau ada.

 

Apa itu? Firasat, seperti kata Dee? Atau feeling, seperti yang temanku selalu bilang? Mungkin bukan. Mungkin itu yang disebut bisyaroh. Mungkinkah, isyarat Allah; sebuah peristiwa yang membuat kita berkembang?

 

Hari ini tentang kesembuhan, tentang kesehatan, tentang keajaiban, tapi juga tentang kesombongan, tentang wewenang, tentang tugas, dan tentang masa depan itu sendiri.

Kami lebih banyak bercerita tentang kehidupan. Ayat2 kauniyah yang bertebaran. Menggali-gali kembali ingatan. Kadang menyangkal, kadang mempertanyakan. Banyak hal, mengenai apapun di sekeliling kami, keseharian, yang terasa begitu berat kadang, kini dilihat dari sisi yang berbeda, mendapat dukungan yang berbeda. Dan kembali. Itu intinya, kembali ke eksistensi kami sebagai hamba. Membangunkan kembali keimanan yang tertidur lelap berapa lama. Mengingatkan. Nasehat menasehati dalam menetapi kebenaran dan kesabaran. Menyadari bahwa jiwa ini rapuh, mudah berbolak-balik seperti daun yang tertiup angin.

 

Di tengah lingkaran itu kadang disediakan makanan, kadang hanya ada air yang bening. Semua itu lebih dari cukup, dan hanya pelengkap semata. Yang selalu ada di tengah-tengah lingkaran itu, di tangan kami, adalah Al Qur’an, sebagai cahaya, bukan sekedar bacaan pembuka. Semuanya dilandaskan dari sana. Tempat seorang muslim  seharusnya memang demikian. Satu halaman, beberapa ayat, banyak hikmah. Diam2 aku memohon; berjanjilah untuk tidak melepaskan kami, Tuhan…

Friday, April 3, 2009

Mengurus Perpanjangan SIM...Sendiri


 

Seperti trenggiling yang bisa menjadi bola2 lalu menggelinding bebas, atau landak yang tak peduli jika hewan lain bisa tertusuk durinya. Aku memakai ‘filosofi’ ini untuk menghadapi hari itu. Saat aku harus mengurus perpanjangan SIM-ku sendiri di Polres Bekasi. Cuek dan tegar

SIM A – ku sudah kadaluwarsa hampir 2 bulan. Sebagai warga negara yang baik, maka aku berinisiatif mengurus perpanjangannya sendiri, tanpa batuan calo (huu…). Oke, tadinya aku memang akan meminta bantuan agen, mengingat waktuku tidak banyak, dan membayangkan betapa ribetnya urusan administratif seperti ini, belum2 sudah underestimated duluan. Untungnya (atau anehnya) agennya menolak, malah menyarankan untuk mengurus sendiri. Katanya hari gini pemilu, banyak polisi2. Trus? Perasaan ga ada hubungannya deh. Kemudian dia menyebutkan ancer2 biaya yang harus dikeluarkan, dan katanya pula mengurus SIM sekarang ini cepat, tidak perlu seharian nongkrong di Polres.

Okelah, batinku, coba saja.

Hm, bayanganku ternyata tepat. Saat aku turun dari kendaraan dan hendak masuk ke polres, orang2 yang berdiri di sekitar situ seperti sudah bisa membaca pikiranku, “Perpanjangan SIM, Neng? Yuk, abang bantu yuk!” cenanyang2 hebat bermunculan.

Waw, ogah banget deh , yang ada aku lari, hehe…

Tapi bukan gitu caranya. Entah belajar dari mana (mungkin dari pengalaman jadi preman kampung melayu 3 taun ya, hihihi..), aku mengangkat wajah, pandangan lurus ke depan, langkah kaki tegas lebar-lebar, dan jangan buang2 waktu dengan celingukan apalagi menanggapi mereka, pokoknya jangan terlihat kalau kita bingung dan siap ditipu lah. Pandangan memang lurus ke depan, tapi lapangan pandang kita maksimalkan dong, apa gunanya punya 2 mata kalau gitu coba (gebet cowok cakep, polisi ganteng… gubraks!). Perhatikan sekeliling, baca situasi, cari sesuatu yang bisa dipercaya, seperti tulisan ‘pengurusan SIM’ bla..bla..bla… Dan ternyata tulisan itu ada, tersembunyi di pojokan, tidak akan terlihat dari luar, kecuali anda sudah masuk ke serambi.

Agak lega, tapi masih melangkah dengan sikap sok tahu, kuikuti saja terus tanda panah-tanda panah itu, melewati lorong dengan berbagai ruangan-ruangan di samping-sampingnya, membingungkan. Jadi daripada kelamaan bingung, aku masuk WC saja dulu (trik nomor 14: miksi mengurangi ketegangan, mengosongkan kandung kencing, dan merupakan kesempatan emas untuk merapikan make up, hihihi…).

Selanjutnya kembali ke jalan yang benar, aku menemukan bapak2 bersegaram dalam box kaca bertuliskan informasi SIM. Hm, I think he’s Mr. Right. Jadi aku tanya padanya, darimana aku harus memulai jika ingin memperpanjang SIM.

Aku mengangguk cepat dan tidak berlama2 disana, karena ternyata aku harus keluar lagi, cek kesehatan di luar gedung. Wow, dimanakah itu? Kita lihat saja. Jadi aku pasang lagi aksi sok pede-ku, tanpa banyak bertanya, langsung lurus ke gang di samping polres. Gang itu makin lama makin menyempit, tapi tidak ada tanda2 atau tulisan poli kesehatan, yang ada malah tempat narkoba. Wuidih, hampir panik, tapi tahan..tahan.. keep cool, calm, confident. Ya, confident, itu yang penting. Aku masuk ke bangunan terakhir di ujung gang itu, tempat beberapa orang duduk di kursi panjang. Lagi2 tanpa tanda poli kesehatan. Mataku menangkap tulisan yang ditulis asal-asalan di sebuah kotak pulpen dari kertas di atas satu2nya meja disana, “SIM BARU”. Hm, setidaknya masih ada bau2 SIM-nya. Jadi aku langsung masuk saja ke bangunan itu, menemukan satu2nya ruangan dengan pintu terbuka dan berisi beberapa orang yang duduk di belakang meja. “Perpanjangan SIM, Mbak?” lelaki yang paling muda, tanpa seragam, di salah satu meja itu, adalah cenanyang kesekian yang kutemui hari ini. Dan kali ini aku menurut.

Tes kesehatan. Jadi lelaki itu meminta SIM lamaku, 2 lembar fotokopi KTP-ku, dan menanyakan tinggi serta berat badanku. Setelah itu aku pindah meja, kali ini seorang ibu-ibu dengan seragam, langsung membuka buku dihadapanku dan bertanya, “Ini?”

Aku menyebutkan angka yang tertulis. Empat kali di lembaran ischihara yang berbeda, lalu pertanyaan minus kacamataku. Well, cepat sekali pemeriksaan kesehatan ini. Aku pun membayar 22ribu (entah resmi entah tidak, karena tidak ada kuitansinya), lalu pergi dengan membawa selembar kertas kuning hasil pemeriksaan seadanya itu.

Oya, sebelumnya perlu kuperingatkan, agar membawa fotokopi KTP anda sebanyak 4 lembar untuk mengurus perpanjangan ini. Fotokopian di dekat situ mahal sekali, masa’ aku fotokopi 5x = 2000 perak, huhu...

Selanjutnya aku masuk kembali ke gedung polres, membayar asuransi sebesar 15ribu rupiah di salah satu loket. Kemudian berpindah ke loket lainnya bertuliskan PERPANJANGAN SIM RP. 60.000,-. Mengambil seberkas formulir yang harus diisi, dan teringat bahwa aku tidak bawa pulpen.

Ini saatnya menurunkan sedikit kadar kecuekanku dan mengintip korban yang tepat untuk dipinjam bolpennya. Pertama, seroang lelaki berkaus hitam, tapi ternyata ia mau ujian tertulis, jadi ia mengambil kembali bolpennya sebelum aku sempat memakainya. Kemudian, dan ini yang terakhir, korban yang lebih aman, mbak2 yang lagi duduk terbengong2, dan dia bawa bolpen. Thank’s a lot, mbak! Jadi bagaimana cara mengisinya? Aku dengan bodoh 2x bolak-balik ke loket krn ada yg belum terisi, dan tampaknya petugas loket itu mengerti, oh mungkin aku sendirian yang bodoh.

Setelah mengembalikan formulir di loket III (untuk mengurus SIM baru di loket II), aku duduk dan memulai fase penantianku. Aku bisa lebih bebas mengamati sekarang, tempat pengambilan foto di sebelah dalam, dan tempat tes tertulis di dalamnya lagi dimana banyak orang duduk-duduk. Wah, aku tidak ingat dulu aku melakukan semua itu (ya iyalah, orang SIM aja nembak!).

Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk panggilan itu. Bapak berseragam di dalam box kaca informasi SIM yang melakukannya dengan suara lantang dan logat sunda yang kentara. Aku foto, tanda tangan, dan cap jempol tangan kanan dan kiri. Kemudian aku dipersilakan menunggu lagi di tempat yang sama.

Tak lama TOA di loket IV bergemerisik, menyuarakan beberapa nama dengan namaku diantaranya, dan sang petugas menyerahkan SIM baru kami. Total aku menghabiskan waktu satu jam dan rupiah 99.000,- untuk sebuah perpanjangan SIM dan kartu asuransi dengan jangka 5 tahun ke depan, sesuai dengan ancer2 yang disebutkan si agen yang sempat menolakku.

Aku turut berbangga, untuk kejujuran (dan memang sudah seharusnya begitu kan?), kecekatan (cuma 1 jam di kota macam bekasi, hebat ga sih?!), dan keramahan para petugas (yang merasa). Masih banyak kekurangan di sana-sini tentu saja, dan kebingungan2 yang kadang menimbulkan ke-underestimated-an bagi masyarakat. Tapi rasanya kita bisa. Bisa menjadi lebih baik asalkan kita mau berjuang untuk itu. Tidak pernah mudah, dan tidak pernah begitu menyenangkan pada awalnya. Namun mengapa tidak? Untuk perubahan yang lebih baik, untuk Indonesia kita, untuk pemilu tahun 2009 ini… mungkin dari sinilah awalnya.