Thursday, November 26, 2009

Catatan Kecil di Kereta

Kereta ini membawaku melintasi perbatasan kota-desa-gunung-lembah-bukit-sawah-hutan-sungai. Mengulang memoriku 6 tahun terakhir ini, betapa cepatnya. Membongkar kembali rinduku pada bunda, mengirimkan kembali pesan2 pendek pada teman2 ‘lama’, dan menyiapkan pijakan yang lebih utuh untuk rencana masa depan. Masih bingung, kadang masih marah, kadang juga merasa agak lega. Karena itu berarti pencarian lagi, petualangan lagi, perjalanan lagi.


Semalam nontok Kic* Andy sampai selesai. Tentang orang2 yang begitu yakin akan mimpi2nya, punya tekad sekuat baja, punya kepolosan sejernih embun, sejuk dan menyegarkan. Mereka sederhana, tapi dengan usaha yang sungguh2 mereka bisa mengubah segalanya, bermula dari diri mereka sendiri. Andai duniaku juga bisa sesederhana itu, seringan itu, sebersyukur itu, tentu tidak ada yg sulit dan membuat emosi kan. Semuanya akan lebih mudah dan damai, tenang dan bahagia. Jadi, kapan kita akan berhenti mengeluh dan menggantinya dengan syukur?


Setidaknya hari ini indah, sawah masih hijau, sungai2 kecil dengan batu2 besar, mendung dan udara yang lembab, tak peduli manusia berteriak di lorong kereta yang limbung. Syukuri saja. Yakinlah tidak pernah ada yang sia2, apalagi itu ciptaanNya.

Monday, November 16, 2009

No pain no gain

”Siapa tahu rejeki kita disana, ya kan?”

Bex tertegun, lantas tersenyum setuju. Ia sangat menyukai nada optimisme itu. Dari seorang teman yang dikenalnya dalam 6 tahun terakhir ini. Mereka sempat dekat di tahun-tahun pertama. Stelah itu mereka masih menjadi partner yang baik.

Menurutnya, mungkin ini juga jalan yang ingin dia tempuh. Jalan yang tidak selalu mudah. Yang agak berliku. Yang ada turunan, tanjakan, dan belokan tajamnya. Yang dibalik belokan itu telah menunggu hal mendebarkan yang mengejutkan.

Jelas, Bex tidak ingin segalanya terlalu mudah. Seperti ketika ia merengek ke orangtuanya di masa kecil dulu. Ini bukan lagi permen, balon, atau game di timezone. Ini masa depannya. Jadi ia yang akan memutuskan langkahnya. Meski kebingungan tapi Bex, ia tahu, seharusnya menikmatinya. Ini perjalanannya, petualangannya.

Siapa tahu rejeki kita disana. Bex tersenyum, dan tidak ragu lagi menjalani hari itu. Teman memang selalu menginspirasi.

Saturday, November 14, 2009

Sebentar saja

Aku ingin tinggal disini sebentar saja
Menyapamu sebentar saja
Bercakap denganmu tidak lama
Bercanda sekilas seperti biasa

Aku sungguh tidak ingin berlama-lama menahanmu
Aku tidak ingin mengganggumu dan mimpimu
Aku ingin kau bergerak dan bernafas
Sama seperti kau biarkan aku bebas

Maka akan kurelakan waktu berlalu
Memberikan apa yang tersisa untuk kita
Menikmati apa yang ada
Segala pembicaraan sederhana

Mungkin itu tentang mimpimu
Barangkali itu tentang mimpiku
Tapi tak ada yang lebih berharga
Selain bahwa kita pernah merangkai mimpi bersama

Sekarang sudah saatnya
Kau bebas kepakkan sayapmu
Dan aku juga akan melanjutkan perjalananku

Terimakasih sahabat
Untuk waktu yang sebentar saja
Yang rasaya akan selalu demikian
Sebentar saja

Monday, November 2, 2009

Sumpah

Hari ini jadi hari bersejarah buat aku, buat rekan2 sejawatku, buat FK UNDIP-ku, buat Indonesiaku, jika boleh kutambahkan –ku pada semua kata2 itu. Jadi sejak pagi buta, bahkan sebelum adzan shubuh, aku sudah bersemangat mandi, mengenakan kebaya emas, dan melintasi jalanan Semarang yg masih diterangi lampu2 jalan yg temaram menuju Semeru, rumah eyangnya seorang sahabat. Kami memang telah sepakat memanggil tukang rias kesana, make up dan kerudung cantik, benar2 membuat kami semua cantik. Ya, hari ini semua cewek efka cantik2, jauh dari biasanya yg kucel, kusam, khas habis jaga banget. 138 dokter baru bayangkan. Akan kemana saja ya mereka semua? Ups, kami ding, hehe... Lbh baik tanyakan aku sendiri dulu, mau kemana aku?

Hari ini, aku sadar hari terakhir kami bisa berkumpul, lengkap seperti ini. Aku ingin saat seperti ini terabadikan, dalam memori, melengkapi memori 6 tahun itu, menutupnya dg gemilang, untuk kemudian menyambut tantangan2 baru yg lbh mendewasakan lagi. Mungkin, tantangan pertamanya adalah, kita tidak bersama2 lagi, dalam artian yg harfiah, benar2 sendirian. Kita menentukan langkah sendiri, kesalahan kita tanggung sendiri, keputusan kita buat sendiri, tgjwb di pundak kita sendiri. Mungkin krn belum terbiasa aku jadi sedih, menangis. Tapi meskipun demikian, saat2 spt ini memang hrs ada. Saat2 transisi, saat untuk bergerak, saat untuk maju, saat untuk memulai yg baru. Aku ingat tulisanku dl ttg ‘lone ranger’. Kira2 kami skrg ini spt itu tdk ya...

Semoga kami cukup tegar dan pintar menghadapi hari2 baru kami. Semoga tdk perlu ada kesombongan, rasa canggung, atau segan dikeesokan harinya diantara kami. Semoga silaturahim itu tetap terjaga, dan tetap erat mengikat kami. Bahkan sumpah kami pun telah berkata, kami bagaikan saudara sekandung...

Thursday, October 29, 2009

enam tahun

Aku berjanji untuk hari ini
Aku berjanji untuk hari ini enam tahun yang lalu
Aku berjanji bahwa semua ini akan sebentar saja
Aku berjanji bahwa aku akan segera kembali
Aku tidak pernah menyangka akan ada banyak sekali perubahan dalam jangka waktu yang kujanjikan itu

Yang pernah ada telah pergi
Yang tidak ada telah datang
Tapi aku pikir itu bukan kita
Bukan kau

Aku ingin sekali melihatmu bahagia
Ingin sekali membuatmu bangga
Ingin sekali menatap wajahmu berbinar, bercahaya
Ingin sekali kau hadir disini
Mendampingiku
Mendampingiku mengucapkan sumpahku
Mewujudkan impianmu

Aku sudah berjanji
Aku akan menepati janjiku
Segera

Maaf
Jika ternyata ini tak sempurna
Tak seperti yang kita rencanakan
Tidak persis seperti yang kita harapkan
Tak secemerlang impianmu
Tak sebulat janjiku

Hari ini, enam tahun yang lalu, Bunda
Aku berterimakasih untuk semua itu

Wednesday, October 21, 2009

Pandangan kita adalah pandangan cinta

Pandangan kita adalah pandangan cinta.
Dan kata-kataku demikian juga.
Cinta yang tulus, dan tak meminta lebih.
Jika kau bahagia aku pun bahagia.
Jika kau bisa menjadi lebih baik, aku juga merasa itu yang lebih baik untuk kita.

Adalah aku dan kau dalam dunia yang berbeda.
Lalu di sebuah persimpangan jalan kita dipertemukan meski sesaat saja.
Di waktu yang terbatas itu kita tumbuh dan berkembang bersama,
banyak belajar dari kesalahan masing-masing,
dan saling membantu dalam menutupi kekurangan yang lain.
Kadang kau marah, kadang aku yang kecewa.
Ada saat-saat dimana kesabaranmu habis, dan ada saat-saat dimana aku merasa sangat lelah.
Tapi kita berhasil melewatinya, ya kan?
Buktinya kita bisa berdiri bersama disini sekarang.
Kau dengan gelar doktermu, dan aku dengan gelar dokterku.
Gelar yang kita perjuangan dalam 6 tahun masa muda kita.

Kini kita telah sama-sama dewasa.
Aku yakin kita telah dewasa,
siap dengan pilihan-pilihan kita dan risikonya.
Kau pun siap untuk sederet rencanamu, komitmenmu, dan apapun risikonya.

Tapi tahukah kau, aku masih memandangmu sama seperti dulu?
Sama seperti waktu kita pertama kali bertemu dan menghabiskan hari demi hari bersama. Pandanganku tak berubah,
aku masih memandangmu dengan cinta.
Meski aku tahu, cinta itu tak lagi sama.
Cinta itu, makin kuat kurasa.

Aku mencintaimu, sahabat,
dan akan terus mengenang persahabatan kita selamanya.

Wednesday, September 30, 2009

Ramaya Ballet and Our Life Drama

Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan menyaksikan karya besar itu. Beruntunglah Indonesia, tarian yang satu ini belum dihakmilik bangsa lain. Karena bagi saya, sang orang awam biasa, rakyat jelata yang sekedar penikmat seni, sendratari ini sangat memukau, luar biasa indah, seperti sihir. Bukan macam sihir yang ada di televisi dengan dandanan serba hitam dan mistis, tapi sihir dari budaya asli bangsa kita, menyentakkan benak dan kesadaran, ini budaya kita, tidak pernah kalah dengan budaya bangsa lain. Meski tidak mengerti keseluruhan ceritanya (jika tidak membaca selebaran yang kemdian dibagikan), meski hanya menonton dari deretan bangku kelas II yang bermeter2 jauhnya dan sebagian tertutup tiang, meski tidak lagi sedekat dahulu (kata ayah) dengan Prambanan, meski bahkan saat itu bukan masanya bulan purnama, pertunjukan itu tetap membuat terpana. Pelan2 saya susuri kembali ingatan masa kecil, bagaimana itu cerita Ramayana, siapa saja tokoh2nya, peran antagonis dan protagonisnya, saya rasa saya masih ingat siapa tokoh favorit saya…

Itu sungguh hal yang melegakan, ketika saya berhasil menggali ingatan2 itu kembali. Karena ternyata ingatan itu sudah terkubur sedemikian dalam. “Kok, mbak Ulin masih ingat sih?”

Ternyata sejak dulu, sejak kecil, saya mencintai epos2 ini, semacam perang Mahabarata… Para Pandawa versus Kurawa, padang Kurusetra, kecantikan Drupadi, pengorbanan Abimanyu…

Anak2 sekarang, entah masih kenal atau tidak ya, dengan tokoh2 wayang itu? Karena saya rasa, saya saja banyak yang lupa. Mungkin jika saya tidak pernah menyaksikan sendratari ini, saya juga sudah melupakan Sri Rama dan Laksmana, adiknya. Apa mereka juga punya tokoh wayang favoritnya?

Hal ini pasti tidak lepas dari peran orangtua, terutama ibu, yang tak segan membelikan saya banyak buku untuk saya lahap saat saya sedang haus2nya akan ilmu pengetahuan. Saat itu otak saya sedang bekembang pesat, akson2nya sedang membuat jalinan yang rumit, yang tak kan tumbuh lagi di usia saya yang selanjutnya menginjak remaja dan akhirnya dewasa.
Selain wayang, saya juga menyukai cerita rakyat daerah seperti Timun Mas, Aji Saka, Loro Jonggrang. Tapi tak hanya itu, sebenarnya saat itu saya juga penggemar berat kisah dewa dewi Yunani, dongeng karya2 Hans Cristian Anderson, cerita2 Disney. Di fase yang selanjutnya, kegemaran saya kemudian merambat ke novel2 detektif macam Lima Sekawan, hingga ke sastra Islam yang sedikit banyak mempengaruhi perkembangan saya melalui masa2 kritis, masa remaja.

Kembali ke Ramayana. Kisah yang dipahat di dinding Prambanan dan kemudian menjadi sendratari ini juga tidak semata bercerita tentang tiga tokoh, Sri Rama, Rahwana, dan Dewi Shinta, meski mereka pemeran utamanya. Di dalam jalinan ceritanya juga terdapat pertikaian antara Subali dan Sugriwa, pengorbanan sang Garuda Jatayu, keberanian sekaligus kelembutan Tijata. Yang membuat cerita itu lebih hidup dan lebih nyata, bahwa dalam kehidupan kita , keberhasilan kita, pasti ada peran2 orang2 lain di dalamnya. Kadang prasangka membuat kita gelap mata, seperi ketika Sri Rama hampir menuduh Jatayu menculik Dewi shinta. Kadang nafsu kita yang mengangkasa, selain layaknya Rahwana, juga nafsu kecil seperti saat Shinta menginginkan kijang emas hingga suaminya rela mengejarnya.

Cerita ini ternyata sangat unik jika dilihat masing2 sisi2nya satupersatu. Saya seperti sedang bercermin di air yang bening. Sambil mengagumi budaya nusantara, saya juga berkaca diri. Siapa saya dalam kisah itu? Apakah saya sudah seperti tokoh favorit saya?
Oya, tokoh favorit saya adalah Laksmana, tau kenapa…? ;)

Monday, September 14, 2009

Pengingat Kecil

Ada saat-saat dimana kita bisa bahagia dengan hal-hal kecil, hal-hal remeh temeh, hal yang sebenarnya tidak lagi asing atau baru bagi kita, namun kita seperti baru saja menyadarinya. Saat itu, mungkin Tuhan sedang mengetuk pintu hati kita, berusaha meruntuhkan kesombongan kita, mengajari makhluk bengal bersama manusia, dan kita beruntung masih ditegur dengan cara-cara yang ‘sopan’, penuh kasih sayang khasNya.


Seperti malam itu ketika aku (akhirnya) pergi juga ke masjid untuk menunaikan sholat isya’ dilanjutkan tarawih. Ada aura tersendiri yang membuatku rindu untuk kembali kesana, ke masjid, walaupun itu cuma masjid kecil di kompleks perumahan kami. Masjid itu tadinya mushola, yang kemudian dikembangkan dari dana donator sana-sini hingga menjadi lebih luas dan layak disebut masjid. Sudah ber-Ramadhan2 ketika aku kecil dulu ikut tarawih disana, maklum paling dekat rumah. Dan hal itu, tidak pernah kusangka akan menjadi kerinduan tersendiri saat bulan Ramadhanku tidak dihabiskan di rumah, melainkan di bangsal rumah sakit misalnya.


Kita tak pernah mensyukuri sesuatu sampai kita sadar saat nikmat itu dicabut dari diri kita, kata seorang ustadz pada ceramah malam itu. Tapi benarkah? Mungkin jangan sampai nikmat itu dicabut dulu, mungkin kita hanya butuh pengingat2 kecil. Seperti yang terjadi saat aku sedang asyik dengan Qur’anku, bertadarus di tengah saf wanita pertama. Pengingat kecil itu diucapkan oleh seorang ibu setengah baya yang duduk bersila di sebelahku. Tanpa menunggu aku berhenti membaca sampai ‘ain, suaranya telah membuatku ‘terpaksa’ menengok mengalihkan perhatian dari mushaf di tanganku. “Mbak, emang kelihatan tulisannya? Kecil banget tuh!”
Bacaanku terhenti, dari heran, berganti senyum, “Kelihatan kok, Bu…”
Alhamdulillah, ucap hatiku sebelum lanjut membaca ayat2 suciNya. Pengingat kecilku sedang berbunyi, mengingatkanku untuk mensyukuri karunia besar bernama penglihatan. Penglihatan yang walaupun kita ‘miliki’ namun tidak selamanya bisa ‘sempurna’. Sekarang ini saja aku sudah pakai kacama minus, tapi syukurlah untuk membaca huruf2 kecil tidak menjadi masalah. Sementara bagi ibu itu, yang usianya barangkali menginjak setengah abad, membaca tulisan sekecil mushaf itu tidak dapat dilakukannya.


Terimakasih Tuhan, jangan ambil nikmat ini dulu, aku akan berusaha mensyukurinya tanpa perlu kehilangannya. Syukur kecil itu ternyata membawa kebahagiaan tersendiri. Kebahagiaan sederhana dari nikmat yg sebenarnya tidak pernah kecil dan sesederhana itu.

Thursday, August 27, 2009

100 Hari Bunda

Apa yang kamu lakukan kalau kamu ingat bunda?
Kamu dapat bersegera ke dapur dan menemuka
nnya sedang memasak masakan kesukaanmu
Atau mungkin kamu langsung mengangkat telepon
dan mendapati suaranya ceria menyambutmu segala ceritamu
Atau mungkin bagi yang tinggal di luar kota, kamu akan segera pulang dan mendapatinya membukaan pintu untukmu tak peduli jam berapapun itu


Apa yang kamu lakukan kalau kamu rindu bunda?
Kamu mungkin akan mengirimkan karangan bunga
terindah beserta surat rindumu
Atau kaumu juga dapat memesan kue kesukaannya dan membawakannya langsung ke hadapannya
Atau kamu senang melukis, dan menggambar foto dirinya lalu memberikan kepadanya ditambah kecupan mesra


Apa yang kamu lakukan kalau kamu merasa bersalah pada bunda?
Kamu bisa segera meminta maaf padanya, mencium t
angannya, atau berlutut di hadapannya, dan ia akan tersenyum memaafkanmu tanpa diminta dua kali
Atau kamu dapat meneleponnya, mengiriminya sms, dan segera mendapatkan sambutan hangat darinya, tanpa rasa dendam sedikitpun.
Atau jika kamu malu dan keras kepala sekalipun, kam
u bisa memberitahu adik atau kakakmu, dan malah bunda yang akan menghampirimu, mengunjungimu, dan menanyakan kabarmu




Dulu, aku pikir aku bisa melakukannya. Akan selalu bisa melakukannya. Dulu aku pikir, setiap aku pulang, yang membukakan pintu itu akan selalu wajah yang sama, yang menjawab telepon ke nomor itu adalah suara yang sama.


Dulu, kau tak pernah menyangka, ’ancaman’ di acara muhasabah agar kita bersegera meminta maaf pada orangtua kita itu, kini menjadi kenyataan dalam hidupku. Karena nyatanya sekarang aku tidak bisa berbicara langsung padanya, mencium tangannya, memeluk dirinya, bersimpuh di hadapannya, meminta maaf atas semua salahku padanya, berterimakasih atas semua yang telah ia korbankan untukku.


Jadi apa yang harus aku lakukan saat aku ingat bunda, saat aku rindu padanya, atau saat perasaan bersalah itu datang?

Friday, July 24, 2009

40 hari bunda

Aku sudah berhenti menangis sejak awal. Sejak pertamakali diberitahu bahwa akhirnya kami harus mengikhlaskan. Sejak tahu bahwa inilah saatnya ketakutanku yg hanya ketakutan itu menjadi kenyataan. Aku sudah pernah menangisinya dalam khayalanku dulu, dan aku sudah tidak takut lagi untuk menghadapi kenyataannya kini.

Sebelum saat tiba, beberapa kali aku memang kadang terbangun dengan tiba2 dan menangis. Atau sibuk berkhayal terlalu dalam dan menangis. Dalam setiap tangisan itu terselip segala macam kekhawatiran dan harapanku, dan itu semua ada komponen dari doa seorang hamba. Mungkin itu cara Tuhan menyiapkanku. Hingga tak perlu aku menangis meraung2, lebih panjang dan histeris, ketika sudah tiba saatnya. Aku bisa membisikkan kalimat Allah di telinganya dengan tegar tanpa suara bergetar, aku bisa melihat detik2 akhir nafas dan nadinya tanpa pandanganku tertutup kabut air mata, aku bisa menghibur adikku dan mengatakan ‘tidak apa2’ karena ia memang tidak apa2, ia hanya pulang, dan kelak kita juga akan menyusulnya, jadi tenang saja.

Jika ada air mata yg sampai saat ini menetes. Itu sungguh bukan airmata penyesalan kepergiannya, bukan air mata kesedihan krn tak ikhlas padanya. Air mata itu hanya air mata seorang anak yg tidak bisa menepati janji untuk membahagiakan ibunya di dunia. Padahal selama ini anak itu berdoa pada Tuhannya. Ya Tuhan kami ampunilah kami dan kedua orangtua kami, dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangi kami disaat kami kecil. Doa itu, dulu selalu kupertanyakan diam2 bunyinya. Kenapa harus disaat kami kecil? Kenapa tidak berhenti pada seperti mereka menyayangi kami?

Hari2 belakangan, sebelum hari kepergiannya, aku sedang sibuk dg akhir faseku kuliah kedokteran. Perjalanan ini sudah kutempuh hampir 6 tahun, tinggal sedikit lagi yg hrs kulakukan untuk menyelesaikannya. Aku, dengan bersemangat tidak ingin meninggalkan atau menundanya, hanya untuk menunggu sesuatu yg tidak pasti. Setelah ini aku bisa disampingnya, batinku yakin. Setelah ini aku bisa berlama2 dengannya, kataku tanpa peduli. Saat itu, kami masih sangat optimis, krn ia sendiri sangat optimis. Tak pernah dibicarakan perihal pesan2 wasiat, asuransi, atau tabungan. Doa kami setiap hari masih sama, berikanlah kesembuhan pada ibu kami. Tak ada kata menyerah. Kami bahkan masih merencanakan lebaran tahun depan dimana dan apa saja yg akan kami lakukan.

Tapi manusia memang paling pandai berencana, sayang bukan mereka yang menentukan. Suatu hari (aku benci menceritakan ini), aku ditelepon lagi. Mendapat kabar bahwa kondisinya kritis. Sebelumnya aku sudah bolak-balik pulang dari desa tempat aku bertugas ke kota dimana keluargaku tinggal, jadi aku malah bertanya, apa aku perlu pulang? Pertanyaan itu terdengar jahat, dan memang begitulah. Begitulah mengapa air mataku masih tetap ada untuk sebuah penyesalan. Penyesalan bahwa aku tidak serius dengan doaku. Kasih sayang orangtua saat anaknya kecil tidak akan berbentuk seperti itu. Orangtua, apalagi seorang ibu, pasti akan segera pulang, berada selalu di samping anaknya, tak peduli sesibuk apa pekerjaanya, semuanya non-sense, tidak ada apa2 dibandingkan anak2nya. Jikpun ia sedang kuliah kedokteran misalnya, atau sedang punya proyek yg lebih besar itu, ia bahkan telah meninggalkan sejak dulu. Sejak anaknya berada di rumah sakit, apalagi jika telah bolak-balik masuk ICU. Jadi... kemana hati nuraniku saat itu? Kemana inti dari doaku? Apakah aku serius dg doaku? Jika yg memohon saja tidak berusaha, apa Tuhan mau bersusah payah mengabulkannya?

Doa itu ternyata, ada faktor kita untuk mengabulkannya. Ada faktor usaha, ada faktor kesungguhan. Apa yg dikatakan bahwa Ia tak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri merubahnya itu adalah benar.

Aku bukannya tak sayang ibu, aku sayang sekali. Tapi sayangku ternyata tidak sama dengan kasih sayangnya pada kami ketika kami kecil. Jadi, aku masih selalu meminta padaNya, tolonglah agar Ia mengampuni dosa2nya, menyayanginya sedemikian rupa.

Maafkan aku, bunda. Aku anak yang gagal membahagiakanmu di dunia, tapi aku berharap masih punya kesempatan dan sanggup membahagiakanmu di akhirat.

Friday, May 29, 2009

Mimpi

Kata seorang sahabat, mungkin aku perlu menuliskan mimpi2 ku, sejak mimpi2 seringkali mengungkapkan perasaan yang coba kututup-tutupi, kekhawatiran yang kuindahkan, dan kesadaran di alam bawah sadarku. Jadi aku memutuskan untuk menuliskannya kini, setelah lama pembicaraan tentang itu berlangsung. Mungkin ada baiknya, berusaha menyadari apa yg aku tahu tapi tidak aku sadari, atau mengetahui apa yg kucoba sembunyikan dari diriku sendiri.


Mimpi tidak pernah bercerita setiap detailnya. Namun kadang ada bagian2 yg begitu membekas, yg sangat mendetail, dan mungkin itu adalah bagian yg penting yg coba disampaikan dalam suatu rangkaian peristiwa yg coba kita pahami seperti peristiwa di dunia nyata. Sehingga, kadang yg tersisa dari ingatan kita tentang mimpi itu adalah berupa potongan2, kelebatan2, kadang terasa seperti de javu, sesuatu yang ‘hey, aku pernah merasakan ini sebelumnya!’ Merasakan, bukan mengalami. Atau mengalami suatu perasaan yg sama, tapi bukan mengalami kejadian yg sama.


***


Aku berada di tempat tidurku, selesai ujian dimana aku merasa aku tidak diuji. Dalam ujian lisan itu kami berdua, aku dan seorang teman lelaki, siapa orang ini tidak begitu jelas. Ia terus ditanya oleh penguji kami, dan aku merasa bisa menjawabnya seperti ketika aku membaca buku catatan. Jadi aku berusaha menjawabnya, tapi yg ditanya terus adalah dia bukan aku. Hingga ia selesai ditanya, aku tahu sekarang giliranku tapi aku takut sudah tidak dapat menjawab karena pertanyaan yang bisa kujawab sudah diajukan semua. Namun, ujian selesai begitu saja, aku tidak ditanya. Pikirku, mungkin karena pada 2 ujian sebelumnya aku sudah mendapat pertanyaan dari penguji2 lain yg sulit. Jadi disitulah aku, di kamarku. Bukan kamar yg kini kutempati, atau kamarku di Jakarta. Melainkan di kamar rumah masa kecilku.

Ada yg mengetok pintu, dan kemudian orang itu masuk. Mommy. Mom melihat ke atas ke arah AC yang ternyata mati, dan berkata, ”Disini anget juga.” Lalu mom ingin tidur ditempat tidur di sampingku, tempat yg biasanya ditempati adikku. Kulihat adikku sudah tidur di lantai di bawahku. Aku sangat bersyukur karena aku memakai piyama yg pantas dan sprei tempat tidur baru saja diganti serta masih rapi.

Aku memandangi mom yg kurus di sebelahku, menanyakan padanya, ”Kenapa tdk pernah dirasakan?” Aku bertanya tentang penyakitnya, menatap lehernya.

Mom memintaku menggosok lehernya dg semacam minyak, aku melakukannya dan mom menjawab. ”Ibu ini kuat, seperti laki-laki. Buat apa dirasa-rasakan, budhe juga bilang begitu kan?” Aku tidak ingat detail kata2nya, tapi kira2 seperti itu.

Kemudian memori itu menyergapku, membuatku berpikir, bahwa mungkin pada awalnya mom memang tidak merasakan, tapi kemudian sebenarnya ia telah pergi ke dokter. Bukan hanya ke 1 dokter tapi ke banyak dokter. Namun penyakit itu baru diketahui kira2 6 bulan setelah ia pergi ke dokter. Terlambatkah diagnosis dokter itu, hingga saat diketahui sudah stadium 3? Tapi bisa saja dokter tidak terlambat diagnosis, karena mom memang sudah disarankan biopsi namun ia menolaknya untuk beberapa lama, salahkah dia? Mom bukan org medis meski kini 3 anggota keluarganya adalah org medis. Jika demikian, mungkinkah ini kesalahan kami, keluarganya???


***


Aku tersadar dengan pikiran itu masih menggelantung di kepalaku. Tidak ingat antara batas tidur dan bangun karena, aneh sekaki bukan, orang berpikir dan melakukan analisis di dalam mimpi? Batas antara realita dan mimpiku semakin tak jelas. Batas antara alam sadar dan tidak sadar bahkan tak kumengerti. Semuanya meluap ke permukaan jika aku berada di alam bawah sadarku, membawakan kesadaran baru pada alam sadarku. Dan kemudian, di sisa hari itu aku menangis sampai puas sebelum aku akhirnya bersujud, menyerahkan segala kegundahanku padaNya, Sang Pemilik jiwa.

Tuesday, May 19, 2009

Kesedihan Dalam Hitam dan Putih

Hari ini aku melihat kesedihan dalam bentuk yang lain, dengan warna yang lain, yang hanya terdiri dari dua pilihan, hitam atau putih.

Anda yang pernah belajar anatomi tentu mengerti apa arti warna2 itu pada kertas karbon yang terpapar sinar-x. Bentuk dari kedua warna itu hanyalah bukti. Bukti kecil akan kelemahan manusia, bukti akan kekuasaan Tuhan, dan bukti bahwa kesedihan itu tidak memilah-memilah pada apa dan siapa. Teman sejawat yang baik juga bisa kena, seorang dokter senior, bahkan seorang direktur rumah sakit.

Apa itu lebih menyedihkan dari kasus2 yang terjadi pada pasien jamkesmas?
Itu hanya agak lebih ironi. Agak lebih menyentakku. Mengingatkanku sekali lagi, bahwa kita tetap bukan siapa2, jika berhadapan dengan kuasaNya.


***


Sayang disini tak bisa dicantumkan foto hasil sistografi pasien mengingat rahasia medis dan masalah etik. Foto ini adalah sistogram normal, untuk gambaran saja.

Pemeriksaan sistografi adalah salah satu pemeriksaan pencitraan, seperti yang telah disebutkan tadi, menggunakan sinar-x. Tujuannya tercermin dari namanya, menggambarkan anatomi vesika urinaria atau kandung kemih. Dari sana kita dapat melihat berbagai kelainan. Misalnya fistula (saluran yang menghubungkan dua rongga yang sudah ada di dalam tubuh), sistitis (radang pada kandung kemih), atau refluks vesikouretra (pembalikan arah aliran kemih). Pemeriksaan ini menggunakan zat kontras yang dimasukkan ke dalam kandung kemih agar kandung kemih dapat terlihat. Zat kontras tersebut dimasukkan melalui uretra atau saluran kemih dengan menggunakan kateter.

Bukan pemeriksaan yang menyenangkan kedengarannya. Dan tidak mudah juga karena butuh kerjasama yang baik dengan pasien. Kadang dibutuhkan foto RLD (pasien miring ke kanan) atau posisi2 lainnya.

Pasien ini pasien Garuda, kelas terbaik di rumah sakit ini. Jika biasanya koass diperbolehkan masuk untuk membantu persiapannya, kali ini aku cukup senang hanya melihat dari balik kaca ruang operator tanpa terpapar sinar radiasi. Jika biasanya ruangan operator itu lengang, saat itu kami berdesakan. Supervisor kami turun langsung, otomatis lebih banyak residen dan koas yang penasaran. Sebelumnya sempat ku lihat status pasien ini, riwayat penyakitnya, hasil labnya, tak lupa identitasnya. Dan itulah yang menarik, pasien kami bukan pasien biasa, selain pasien VIP, riwayat penyakitnya yg panjang dengan catatan medik setebal itu, ia juga seorang dokter.
Saat kontras masuk, dan gambar mulai di ambil, kami dapat melihat ada yang tidak beres dengan warna putih yang seharusnya merata berbentuk bulat khas kandung kemih. Ada warna putih yang keluar dari batas itu, bukan hanya di satu sisi tapi juga di sisi lain, kanan, kiri, belakang, terlalu banyak kontras yang keluar ke ruang intraperitoneal.

“Apa itu? Fistel?” bisik temanku. Aku diam karena tak yakin.

Foto diambil dari berbagai posisi sehingga dapat dilihat dengan jelas (dengan dua warna itu saja, hitam dan putih) apa yang terjadi pada kendung kemih sang pasien. Lalu diskusi kecil di ruang operator itu menyimpulkan satu hal: ruptur kandung kemih.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kok bisa? Seorang dokter, seseorang yang tentu sangat mengerti apa itu ruptur kandung kemih, bahkan ternyata seorang direktur rumah sakit, mengalami hal se“mengerikan” itu???


***


Siangnya, residen yang menangani kasus itu kebingungan menulis apa dan akan meminta pengesahan pada siapa. Dua dokter spesialis senior yang ada saling lempar tentang siapa yang akan menandatangani hasil pemeriksaan itu.

Sementara aku masih terdiam, menyaksikan ironi kehidupan, yang perlahan menelusupkan kesedihan, namun juga sekaligus kesadaran. Kita memang bukan siapa-siapa.

UntukMu, Tujuanku

Tuhan sayang, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang... aku berjalan tertatih2 menujuMu. Sangat lambat sampai kadang aku lupa atau bosan. Lalu kemudian Kau beritahu aku dg caraMu, agar aku bersegera, karena waktuku tak lama tersisa.

Di suatu saat, aku melihat oase dan ingin pergi ke sana. Tapi Kau segera menarikku, sedikit membentakku, dan menyadarkanku bahwa itu hanya fatamorgana. Kau ingatkan aku akan janjiMu, sekaligus Kau juga ingatkan aku pada janjiku.

Di jalan itu kadang aku mengeluh kelelahan, mengeluh kehausan, padahal sebenarnya aku cuma malas. Aku lupa kalau aku masih punya nafas, masih punya mata, masih punya kaki untuk melangkah, dan semua itu pemberianMu, tujuanku.


Di suatu fajar aku melihat matahari, aku pikir aku masih bisa melihatnya esok lagi, jadi kuindahkan saja perasaan takjub itu, dan sibuk dengan urusan duniaku.

Di suatu persimpangan aku melihat anak2 jalanan, mengemis, menengadahkan tangan, tapi aku pikir itu hanyalah simbol ekonomi semata, jadi tak kuanggap mereka ada, yang penting aku cukup berada.

Lalu, di sebuah sudut bangsal, aku bersemangat memeriksa orang2 yg sedang kesakitan, mendapatkan ucapan terimakasih yang sebenarnya harus kuucapkan, tapi semua itu kulakukan demi nilai dan laporan belaka, tak berpikir bahwa suatu saat bisa saja aku di posisi mereka.

Dan ketika malam mendera, bintang2Mu bermunculan di langit yg kelabu, aku pulang, kelelahan, mengantuk, dan terlelap, lupa bahwa aku belum menghadapMu, melaporkan rincian kesalahan dan dosaku hari ini, padahal Kau selalu akan mengampuni, jika saja aku mau sedikit memohon.


Salahkah aku, jika di malam yang lengang ini aku benar2 ingin pulang? MengharapMu berkenan memelukku, dan tak lagi melepaskan. Bimbing aku dijalan itu ya Tuhan, jalanMu, menujuMu, tujuanku. Maafkan aku..

Saturday, May 16, 2009

God is a director

God is a director, film cin(T)a bilang begitu, dan aku masih menjadi saksi dalam putaran kisah2 nyata orang2 di sekitarku, yang dituturkan atau yang kusaksikan. Semuanya seolah tetap sama, namun sungguh sebenarnya akan menambah keimanan, jika kita ingat siapa sutradaranya.

***

Kabar bahagia itu telah menyebar, sepanjang lorong rumah sakit, sepanjang dinding2nya yang –katanya sanggup ’berbicara’. Bahwa beberapa kakak2 kelas kami, teman2 coass yang telah lulus setahun lebih dulu dari kami, diterima sebagai residen.

Ucapan selamat berhamburan. Aku beruntung dapat menemui langsung salah seorang diantaranya pada suatu sore di akhir pekan yang tidak begitu sibuk.

Satu langkah lagi kesuksesan setelah gelar dokter itu. Lalu apa arti ke
menangan ini baginya?

Ia, mungkin satu atau dua tahun usianya di atasku, menjelang seperempat abad hidupnya, tersenyum cerah dan bersemangat membagikan ceritanya.

Ada beberapa ujian yang harus dilewati dalam penerimaan PPDS (program pendidikan dokter spesialis) ini. Diantaranya adalah tes teori tertulis, tes kesehatan, psikologis, dan wawancara. Dari 31 pendaftar, ia lolos menjadi 21 orang terpilih dan akan mengikuti penyaringan berikutnya. Dalam tes kesehatan, sebagai bukan tipe orang sakit2an dan gadis baik2, ia merasa cukup percaya diri dan tak perlu ada yang dikhawatirkan. Namun Sang Sutradara berkata lain, karena justru dari sanalah segalanya dimulai.

Saat dilakukan pemeriksaan, ternyata hasil EKG-nya ada T inverted pada 3 lead dan RBBB (righ bundle branch block), tanda dari iskemik anterior. EKG
atau elektrokardiografi adalah alat rekam aktivitas listrik jantung, dan karena terdapat gelombang abnormal itu, dokter ahli jantung senior yang memeriksanya segera menyuruhnya melakukan ekokardiografi, sebuah pemeriksaan lebih teliti yang dapat melihat anatomi jantung seperti pada USG.

Ternyata dari hasil eko-nya, terdapat gambaran MVP atau prolaps katup mitral. Merasa tidak pernah ada keluhan, ia pun meminta second opinion ke dokter jantung lain. Setelah diperiksa, hasil EKG-nya malah lebih parah, ada pergeseran aksis ke kanan. Dan ia pun di eko ulang. Tak disangka sang dokter malah meyebutkan bahwa ada gambaran ASD, namun kemudian diagnosis berubah lagi, VSD, sebuah defek septum ventrikel, atau dalam bahasa
awam disebut kebocoran jantung. Dengan diagnosis seperti itu, dia disarankan segera operasi, sebelum penyakitnya menimbulkan gejala dan bertambah parah.

Terang saja ia kemudian kaget setengah mati, orang sehat tanpa keluhan apa2, tiba2 harus menjalani operasi bedah jantung! Sampai menangis2 berpelukan dengan sahabat yang mengantarnya, dengan hati berat ia pun memberitahu orangtuanya. Sudah tidak terpikirkan lagi apakah ia akan diterima PPDS atau tidak. Baginya, jika jalan itu memang demikian yang terbaik untuknya, pasti itu yang Allah akan berikan padanya, jika tidak, mungkin ada hal lain yang lebih baik yang ingin Allah berikan.

Rencana operasi jantung akan dilaksanakan di sebuah RS terkenal di Jakarta. Sampai disana, profesor yang menemuinya pertama kali sungguh terkejut mendengar riwayatnya. Sangat jarang ada kasus seperti itu, ujar beliau. Maka sang profesor melakukan pemeriksaan fisik seperti yang biasa dilakukan ahli sepertinya. Tidak ditemukan bising apapun, padahal seharusnya VSD berbising sangat jelas. Ia pun diminta eko ulang sebelum operasi.

***

Mungkin aku sedang bertanya2 saat itu, kenapa acara ’kumpul2’ kami yang seharusnya rutin tiap minggu itu tidak kunjung diadakan. Rupanya, ia sedang di Jakarta saat itu. Sibuk dengan keputusan Tuhan akan hidupnya yang tiba2 saja berubah 180 derajat.

Namun hari ini ia kembali berkumpul dalam lingkaran bersama kami, menceritakan kisahnya untuk diambil hikmah dan pelajaran. Tak ada operasi, tak ada VSD, tak ada ASD, yang ada hanya MVP ringan dan dia diterima sebagai residen tanpa rasa bangga berlebihan.

Betapa mudah Sang Sutradara itu merubah nasib manusia. Betapa doa yang kita panjatkan tidak pernah akan sia2. Betapa prasangka baik, akan selalu membawa kita lebih banyak pada kebaikan. Dan betapa Ia sesuai dengan prasangka hambaNya.

Wednesday, May 13, 2009

That Spirit of Life

Hari ini, di radioterapi, aku berjalan cepat melintasi ruangan itu, ruang tunggu yang dipadati pasien. Pasien… Pasien2 tanpa harapan, pasien2 yg waktu hidupnya ‘bisa dihitung’, pasien2 yg menunggu...

Aku tidak ingin mengangkat kepala sebenarnya, tapi aku tak punya alasan tidak melakukannya tanpa teman disampingku untuk mengalihkan perhatian. Dan kemudian aku bisa melihat wajah2 mereka. Wajah yang mengingatkan aku pada satu orang. Yang tidak pernah aku lupa. Yang kemudian membuat kerinduanku membuncah. Dan membuat hatiku merintih. Dan tiba2 saja kaca2 bening itu hadir di pelupuk mata.

Seorang wanita kurus kering dengan posisi duduk membungkuk, wanita lain dikursi roda menutupi sebagian bawah wajahnya dengan kerudungnya, bapak2 dengan dengan coretan hitam di wajahnya memegangi botol bersedotan, dan yang lain dengan tampilan fisik yang menyayat hati dan membuat orang awam bertanya2, kenapa mereka?

Seorang bapak2, mungkin penunggu pasien menatapku heran karena berjalan begitu cepat. Aku melihat lurus ke depan, tapi pandanganku masih kabur, jika bukan di keramaian mungkin kristal2 itu sudah pecah seketika.

Apa kau tahu arti semua itu? Arti semua pengorbanan dan kepasrahan itu?

Lihat matanya... Matanya hidup, matanya bukan mata orang yang kalah, mata mereka adalah mata seorang pejuang.
Semangat mereka...yang bahkan tidak dimiliki orang biasa yang sehat. Semangat itu yang membuat mereka bertahan, entah dengan alasan apa. Semangat itu juga yg membuatnya bertahan, dan entah sampai kapan.
Jika sudah demikian ’hitungan waktu’ itu menjadi tidak penting. Bukankah esensi kehidupan adalah pada isinya, bukan lamanya...?

***

Tuhan, maukah Kau berbaik hati…sedikit saja, jika bukan untukku, tolonglah untuk ibuku...
Maukah kau Tuhan, mencabut semua rasa sakitnya, menghapus semua dosa2nya, meringankan segala urusannya, membahagiakan setiap bagian dari hidupnya. Ibu yang selalu melakukan yg terbaik untukku, lalu ia meminta maaf kepadaku malam ini… Anak macam apa aku, Tuhan... Aku yg seharusnya meminta maaf padanya, krn begitu byk kesalahan yg kulakukan, krn begitu byk kewajiban belum kulakukan.
Tuhan, maukah melindung ibuku yg selalu mendoakanku, membesarkanku tanpa minta imbalan, hanya ingin aku jd hambaMu yg baik….
Tuhan maafkan aku… Tolong dengar aku sekali ini, maukah Kau berbaik hati……

Monday, May 4, 2009

Ingin kubacakan Qur’an

Ingin kubacakan Qur’an di sampingmu, Bunda...

***

Bunda, hari ini aku sudah sampai surat Al-Mulk, kerajaan. Surat ke-67 dari 144 surat-Nya, juz 29, dan terdiri dari 30 ayat. Kau pasti akan senang mendengarnya. Surat ini dibuka dengan nama-Nya, Mahasuci Allah yang menguasai segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Bunda, dua malam yang lalu aku masih si sampingmu, sekarangpun, aku harap Tuhan mau menyampaikan bacaanku ke telingamu. Percaya bahwa ada putra-putrimu yang akan selalu mendoakanmu, dan lebih lagi, percaya bahwa doa-doa itu pasti akan Ia kabulkan. Ia, Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kita, siapa diantara kita yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa, Mahapengampun.

Saat itu aku membaca arabnya, dan bapak membaca terjemahannya. Lalu kemudian kau memintaku melanjutkanya lagi, hingga satu surat penuh kuhabiskan. Bahagiakah kau Bunda? Aku harap engkau bahagia. Karena aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan agar membuatmu bahagia, aku lakukan sebisaku.

Ia yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kita lihat sesuatu yang tak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Mahapengasih. Aku memohon pada penciptamu, pada penciptaku, pada Yang Mahapengasih itu, maukah Kau Tuhan, menyembuhkan ibuku…?

Wednesday, April 29, 2009

rencanaNya

Aku tidak perlu untuk tahu kenapa, apa, untuk memberi respon ya-ya. Nomor yang tidak biasa dipakai, jam yang tidak biasa digunakan, daddy yang jarang menelepon, semua itu sudah cukup sebagai sinyal, ada sesuatu yang berbeda, yang amat besar membutuhkan perhatianku, dan aku, akan datang.

Aku berjanji. Besok. Tapi setelah telepon ditutup aku jadi bertanya-tanya, tidak terlalu lambatkah aku jika besok? Akankah terlambat aku jika besok?

Kemudian aku menggunakan suara anak-anakku untuk bicara, untuk menutupi sedihku, untuk menghalangi getaran suaraku, yang merambatkan ketakutanku. Aku memakai gaya cuekku, tak acuhku, tanpa tatapan langsung ke mataku, untuk mencegah air mataku jatuh satu-satu.

Biarkanlah aku menangis hanya di hadapan Tuhan, sendirian, dalam sepi, sunyi, tulisan, huruf-huruf. Biarkan pundakku bergetar hanya saat aku tersujud, saat ayat-ayat panjang dibacakan, saat Tuhan menyentuh hatiku di relungnya yang paling dalam.

Biarkan aku diluar bisa tersenyum, bisa memberi saran pada oranglain, bisa mendengarkan cerita mereka, menanggapi candaan mereka, kemudian aku pun cukup tegar mengurus sisanya sebelum perjalananku pulang.

Esok senja, mungkin aku di kereta, jika benar itu rencanaNya.

Saturday, April 25, 2009

Some credibility, I guess

Aku senang sudah berhasil mencabut gigi pasien hari ini. Memberikan kelegaan, menambahkan kepercayaan. Yang kalau kata temanku, meningkatkan kredibilitas. Alhamdulillah…

***

Pasienku seorang anak laki-laki berbadan besar, masih mengenakan seragam pramuka, dan terus dielus-elus ibunya yang tampak tak ingin melepaskan anaknya sendirian dirubung koass. Anak mami, benar2 tantangan, batinku saat tiba-tiba ditunjuk, “Baru sekali ekstraksi kan?”
Oke, yang satu dan yang pertama kali itu pun bukan aku sepenuhnya yang melakukan, giginya fraktur, terpaksa kuberikan pada dokter gigi yang bertugas. Kali ini aku ingin geleng, ingin menolak. Jangan pasien yang itu ah, ga pede, dipelototin ibunya terus lagi!
Tapi kenyataan bahwa kami nanti sebagai dokter tidak bisa pilih2 pasien (sementara pasien bebas pilih2 dokter), membuatku tak sempat berpikir untuk menolak. So, I take the challenge!

Kemudian alat-alat pun tersedia. Aku mengambil sarung tangan dan mulai memeriksa apakah anestesinya sudah bekerja. Bagus, sudah luksasi, seharusnya ini tidak sulit kan? Setelah yakin pasienku tidak kesakitan dan kulakukan ekskavasi, aku seperti biasa, meminta ijin pada dokter gigi poli yang sedang sibuk karena banyaknya pasien di hari sabtu sementara dia sendirian ditemani 18 koass minggu ke-3 (itu sih namanya bukan sendirian!)

Yup! Bismillahiraahmanirrahim! Posisiku dari depan, siap dengan tang pencabut nyawa… eh gigi maksudnya. Sudah siap beraksi begitu, tiba-tiba ibu si pasien protes, “Kok bukan sama dokter A** (dokter gigi poli satu2nya disitu yang tadi kumintakan ijin)?”
Aku tersenyum dengan wajah terturup masker (jadi percuma, dodol!), “Ini giginya sudah goyang, Bu!” jawabku walau tak relevan dengan pertanyaannya. Yang penting cabut dulu.

Dan tak lama… Jreng jreng! Inilah hari bersejarah itu. Hari dimana ketika aku mengeluarkan tang dari mulut pasien dengan beak-nya telah mencengkeram sebuah gigi utuh plus karies2nya. Kutunjukkan pada ibunya dengan pertanyaan candaan kami, “Mau dibawa pulang?”

Sang ibu tampak lega. Anaknya juga, tidak merasa kesakitan atau pusing. Aku apa lagi, lega banget! Setelah kutunjukkan pada dokter A** bahwa giginya utuh, tidak ada yang bagian tertinggal, aku meminta pasienku menggigit tamponnya agar perdarahan cepat berhenti. Saat itulah kulihat ibunya ikut-ikut konsultasi tentang giginya ke rekan koassku yang lain. Ibu itu tampaknya mulai percaya pada segerombolan dokter muda ini.

Kepercayaan pasien merupakan hal yang membanggakan dan membahagiakan bagi kami. Ekstraksi, atau cabut gigi sebenarnya bukan kompetensi dokter umum. Beberapa universitas di Indonesia bahkan telah meniadakan stase ini bagi calon dokter umum mereka. Tapi disini kami masih mempelajarinya. Kami dipersiapkan untuk kelak saat kami harus PTT di daerah-daerah terpencil, dimana ada fasilitas cabut gigi tapi tidak ada tenaganya, dokter gigi atau perawat gigi, maka kami, dokter umum, sanggup melakukannya dengan lege artis.

Sebelum pasien itu pulang kunyanyikan edukasi pasien post-ekstraksi kami, “Kapasnya dilepas setengah jam lagi ya, Dek! Boleh minum dingin, tapi jangan minum yang panas2 dulu! Kalau kumur janga keras2 ya! Ini resep obatnya, diminum ya!”

Aku tersenyum. Terimakasih atas kepercayaan Anda!

Friday, April 24, 2009

Damn it!

Bagian yang paling tidak kusukai dari perselisihan adalah keributan. Keributan, apapun bentuknya, ribut-ribut, apalagi jika tidak menyelesaikan masalah, malah menambah rumit, tambah tegang, stress, personal relationship jadi minus-minus-minus, (kaya’ di The Sim’s kalo anda para gamers).

Bisakah kita bicara pelan, tidak terburu-buru, dan berpikir dulu. Sebelum berpikir kita harus mendengar, dan supaya bisa mendengar dengan baik kita harus diam. Jika lawan bicara sudah selesai, baru giliran kita yang bicara. Bisakah? Kita kan punya dua telinga dan satu mulut. Maka setidaknyaharus mendengar dua kali. Sekali mendengar dengan daun telinga, dan sekali lagi mendengarkan dengan hati dan meminta fatwanya. Sementara itu otak punya waktu yang cukup untuk dialiri oksigen, jadi bisa berpikir dan memilah-milah.

Bayangkan, saat kita bicara berarti kita berhenti bernafas, pasti otak juga sudah megap-megap dan berhenti buat berpikir. Jika sudah demikian yang keluar dari mulut kitapun seadanya, sekenanya, seenaknya. Apalagi kalau pakai ego, diri pasti merasa paling benar, dan yang lain salah semuanya.

***

Suatu siang aku terjebak dalam keributan. Di tempat dimana aku mau makan lagi!
Damn it!
Jadi aku diam, menunggu selesai, lalu bicara secukupnya, dan menyingkir untuk meneruskan acara makanku yang tertunda.

Thursday, April 23, 2009

Pasien baik hati vs Koass dodol

Sedang asyik-asyiknya mengerjakan pasien eksodonsi siang itu, di klinik gigi mulut tempatku bertugas dan belajar, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil. Kertas kuning melambai2. Oh, aku ujian sekarang?!
Masih memakai hanscoon (sarung tangan), belum sempat kuperiksa apakah infiltrasi pada pasienku tadi berhasil, aku terpaksa meninggalkannya tanpa melihat dulu prosesi pencabutan giginya. Gigi molarnya goyang, dari oral diagnostic, kami sepakat diagnosanya periodontitis marginalis et causa retraksi ginggiva. Hm, lupakanlah, aku punya pasien baru sekarang. Pasien ujianku.

“Yang, mana dok?” tanyaku pada dokter gigi yang memberiku kertas kuning.
“Itu, yang lagi hamil!”
Dueng! Lagi hamil??? Terbayang betapa kompleks masalah pasien ini. Lagi hamil, terus mau kukasih obat apa? Padahal aku tahu penyakitnya saja belum, hehe… Atau jangan2 hipertrofi gingivitis atau epulis gravidarum? Wah, belum pernah lihat nih..
Penasaran, campur aduk dengan tegang, deg-degan, cemas, kutemukanlah pasien ujianku sudah duduk manis di salah satu dental unit biru. Satu2nya pasien hamil di ruangan itu, dan satu2nya pasien dengan pipi yang melembung. Waduh, abses nih, judge-ku langsung. Abses apa ya?
Grogi, pertama2 persiapkan alat, menyapa pasien, dan agak tenang, karena sang ibu meskipun hamil, mulutnya kesakitan, dan jadi bahan ujian koass (yang ini sepertinya dia ga tau deh), masih tetap kooperatif dan mau menjawab pertanyaanku dengan bersahabat.
“Namanya siapa bu? Iya, pekerjaan? Alamat? Umurnya berapa, Bu?”
Wah, ternyata kita seumuran lho! Batinku. Cuma dibatin, tanpa berani ngomong langsung. Habis, sudah kalah 1-0 duluan. G1P0A0, 23 tahun, hamil 34 minggu lho, hehe..
“Rujukan atau datang sendiri, Bu?”
Si ibu langsung menunjuk-nunjuk lehernya.
“Oh, punya sakit gondok ya, Bu?”
“Hipertiroid, Mbak!” sahutnya antusias.
Hyah, keren juga ibu ini, tahu istilah hipertiroid! Aku tersenyum, dan menuliskannya di status.
Pertanyaanku berlanjut ke riwayat penyakitnya. Pipi kiri bengkak 2 minggu, sakit, makin lama makin besar, susah buka mulut. Trismus! Aku ingat diagnosis bandingnya setidaknya ada tiga macam: abses bukal, abses sub/perimandibula, atau flegmon. Flegmon jelas tidak mungkin, karena flegmon harusnya simetris, kondisi pasien juga buruk sekali.
Aku mulai memakai hanscoon baru, lalu palpasi. Pencet sana, pencet sini, raba sana, raba sini, fluktuasi kah? Perabaannya keras, batasnya tidak tegas, tepi rahang tak teraba, pembesaran limfonodi negatif. Hm, masih bingung. Tambah bingung waktu akan meriksa intraoralnya. Trismus 1 cm, gimana cara meriksanya? Kaca mulut masuk, lampu dipaskan dengan susah payah, yang kelihatan hanya sampai premolar. Gusinya bengkak, bernanah (ini fistel bukan sih?), kadang berdarah, dan sederet giginya goyang meski baru derajat II. Kasihan benar ibu ini, 2 minggu tidak bisa makan, gimana nasib bayinya…
Akhirnya kuputuskan ia menderita osteomyelitis. Dan setelah dimajukan ke pengujiku, ternyata… dong dong!!!
“Mana osteomyelitis? Ini abses bukal!”
Hya…! Salah, Bu…!

Pasien ujiankupun dirawat inap, mendapat antibiotik yang sesuai jatah untuk pasien jamkesda, dan semoga… get better soon!
Terimakasihku untuk semua pasien2ku, tempat aku banyak belajar, dan tempat mereka bersabar menghadapi koass2 macam aku… Semoga Tuhan membalas kebaikan2 mereka, dan menjadikan aku dokter yang professional.
Semangat!!!

Wednesday, April 22, 2009

Kapan gigi harus dicabut?

Cabut gigi atau ekstraksi adala tindakan mengeluarkan gigi dari socketnya dengan prosedur asepsis dengan alat dan instrumen tertentu.

Socket adalah tempat akar gigi tertanam, yaitu pada tulang alveolar yang dikelilingi oleh jaringan penyangga gigi atau periodontium.

Alat yang digunakan biasanya berupa tang yang terdiri dari beberapa jenis sesuai dengan jenis giginya, bein untuk melonggarkan gigi dari socket-nya, dan cryer untuk mengambil gigi dengan sisa akar atau akar ganda.

Ekstraksi sendiri bukan merupakan tindakan yang terbaik, karena setelah itu dapat menimbulkan masalah. Sehingga ada indikasi tertentu kapan gigi harus dicabut. Sementara prinsip dari terapi gigi sendiri adalah konservasi atau pertahankan selama masih bisa dilakukan.

Cabut gigi perlu dilakukan jika ada salah satu indikasi berikut:
1. Gigi sebagai fokal infeksi; yaitu gigi dengan kematian pulpa, misalnya gangren pulpa atau gangren radiks

2. Persistensi; dimana gigi permanen/dewasa sudah tumbuh namun gigi susu belum tanggal, maka gigi susu harus dicabut

3. Perforasi radix; biasanya pada akar gigi susu yang menembus gusi sehingga menyebabkan iritasi dan luka yang disebut ulkus dekubitus

4. Erupsi dificilis; atau impaksi, merupakan kesulitan erupsi yaitu gangguan pertumbuhan gigi dimana secara anatomis gigi tidak tumbuh sebagian atau seluruhnya

5. Periodontitis marginalis; peradangan jaringan penyangga gigi, kronis, hingga gigi goyah

6. Fraktur gigi; gigi yang patah dimana secara klinis keberadaan gigi d mulut sudah tidak ada gubanya

7. Indikasi ortodonsi (kawat gigi)

8. Indikasi prostodonsi (gigi tiruan)

9. Pre terapi radiasi

10. Malposisi (kelainan posisi) yang menyebabkan iritasi jaringan sekitar

11. Malposisi yang menyebabkan gangguan estetika

Monday, April 6, 2009

For The Miracle of Marine



Kakak tolong!!! Aku dikeroyok!!!

Kenapa daging babi haram, Kak?!

 

Tulisan itu seperti tulisan mesin ketik.

Singkat, padat, layaknya pesan S.O.S.

Dikirim dari ratusanribu kilometer di tengah samudra tanpa sinyal komunikasi.

 

Ican. Satu nama itu langsung hadir di benak Ufa.

Ican yang dikeroyok, dipukuli, dijejali babi! Pikiran itu memenuhi kepala Ufa. Padahal selama ini Ican berhasil mengindar. Setidaknya dari perkelahian. Puasa Ramadhan kemarin ia gagal 8 hari, bukan karena sakit tapi karena aturan ketat di kapalnya, masih untung bisa mempertahankan 22 hari. Tapi sekarang, setelah insiden alkohol itu…

 

“Kamu minum, Can?!” suara Ufa naik beberapa oktaf.

“Ya, enggak lah. Ican semburin. Tau deh, ada yang masuk atau enggak!” suara Ican diseberang sana. Suara pria muda yang mengejar cita-citanya. Yang sebelum kepergiannya ke akademi itu bagi Ufa adalah sosok adik yang tembem, tidak mencolok dalam hal akademik, dan jago strategi saat main game.

 “Rasanya apa?” Ufa masih penasaran, memancing-mancing. Ia adik Ufa satu-satunya, harapan kedua orangtuanya, kini berada jauh di batas Indonesia, bagaimana gadis itu jadi tidak khawatir.

“Pedes, pahit, panas, hu uh!”

Ufa berdoa dalam hati. Memuntahkan nasehat sebanyak-banyaknya, semampu yang ia bisa, melintasi batas benua dan samudra. Sebenarnya ia takut sekali. Tapi entah kenapa jalan ini yang dipilihkan Tuhan untuk Ican, setidaknya begitulah menurut keyakinannya. Ia ingat betul doa Ican kala itu, saat ia diterima di perguruan terbaik di kotanya, bahkan di negeri ini, selepas SMA. “Ya Allah jika ini yang terbaik untukku, maka mudahkanlah jalanku…”

 

Ufa menegakkan kepala, mendapati kelas yang penuh, beberapa teman Ufa berjilbab, sebagian besar muslim, dan yang bukan muslim pun sangat toleran. Ia mendapati zona amannya. Zona aman yang tidak dimiliki Ican di tengah samudra antar benua.

Ada yang tahu kenapa daging babi haram?” seru Ufa dari tempat duduknya.

Respon dari beberapa teman berdatangan, “Aku punya file-nya, Fa!”

Ufa tersenyum. Ican tidak akan sendirian disana, bukankah Allah selalu bersamanya, menjaganya. Ia juga akan berusaha semampunya, seperti yang dipesan orangtuanya.

 

Ufa mengumpulkan informasi-informasi itu. Searching di internet, bertanya sana-sini, bersikap kritis seperti kebiasaannya. Kemudian, setidaknya ia mendapatkan tiga fakta itu. (Baca: Kenapa Babi Haram?). Lalu cepat-cepat ia balas email itu, seraya bertanya dengan harap-harap cemas.

Ican, beneran kamu dikeroyok?!

 

***

 

Sebenarnya aku ingin bertanya; keyakinan macam apa itu? Maksudku, bagaimana ia, juga Ican dan kedua orangtuanya yakin bahwa inilah jalan yang terbaik? Yang paling aman, dengan iman sebagai taruhannya?!

Aku ingin bertanya dengan keraguan macam itu. Namun kemudian urung. Karena pada kenyataan Ican bisa bertahan (dan semoga) hingga akhir.

Jika tidak ada yang memulai seperti dirinya. Jika tidak ada muslim yang kuat islamnya, yang berani mengambil langkah menembus batas samudra, berlayar di kapal besar kelas dunia, lalu siapa yang akan menjadi nahkoda pengendali kapalnya?

Indonesia adalah negara maritim yang belum tergarap dengan baik wilayah perairannya. Kita masih butuh banyak ‘ican-ican’ lainnya.

Teriring doa untuk mereka, the miracle of marine.

 

Kenapa babi haram?


“Kenapa babi haram?”

“Sebab diharamkan di Al-Qur’an, dan Al-Qur’an adalah pegangan hidup seorang muslim.”

“Ya, saya tahu, tapi kenapa?”

Mendadak ia merasa bodoh. Mendadak, tapi sebenarnya tidak juga, ia pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya, beberapakali, dan ia masih saja tak mengerti.

Jika baginya sendiri, jawaban itu cukup. Sederhana dan masuk akal. Ia muslim, ia meyakini Al-Qur’an, dan ia melaksanakannya, toh masih banyak makanan yang halal juga. Tapi mungkin masalahnya tidak sesederhana itu bagi orang lain, apalagi bagi seorang teman yang bukan muslim. Penasaran. Ia jadi ikut penasaran dan mencari jawabannya. Kali ini yang seilmiah mungkin, masuk logika manusia, dan bisa dijelaskan.

 

“Setidaknya ada tiga hal,” dalam sebuah diskusi kelompok kami bersemangat membahasnya. “Pertama, DNA babi mirip dengan DNA manusia.”

Ya, ya, dia sudah tahu itu. Ia tahu benar itu. Makanya banyak bagian dari babi yang digunakan pada, misalnya, pembuatan insulin, atau transplant, mengurangi suatu reaksi penolakan imunologis.

“Padahal kan babi banyak penyakitnya, dan itu berpengaruhnya pada mutasi genetiknya. Jika dimakan manusia, nanti manusia dengan mudah dapat terkena penyakit-penyakit itu.”

 

“Yang kedua, babi itu tidak punya leher, padahal kita diperintahkan untuk menyembelih hewan dibagian lehernya.”

Benar juga, seumur2 tidak pernah lihat leher babi, hihihi…

 

“Selanjutnya mari kita misalkan dalam 1 kandang kita masukkan dua babi jantan dan satu babi betina, di kandang yang lain kita masukkan dua ayam jantan dan dua ayam betina. Maka apa yang terjadi?”

Alasan yang ketiga ini membuat kami menebak-nebak.

“Kalau ayam jantan mereka akan memperebutkan yang betina menjadi pasangannya, dan ayam jantan itu tidak akan membiarkan pasangannya atau si ayam betina itu diganggu oleh ayam jantan lainnya.”

“Sedangkan pada dua babi jantan itu, mereka malah akan bergantian berhubungan dengan yang betina. Dan Islam menghindari sifat yang seperti itu!”

 

Sunday, April 5, 2009

That Circle


Lingkaran itu terdiri dari beberapa orang, kadang 4-5, kadang bisa 10 jika jumlah kami lengkap. Namun, berapapun, suasana yang dibawa tetap sama; sejuk, dan membuat rindu, entah mengapa…

 

Sore itu akhir minggu dari akhir stase, yang berarti minggu depan kami akan masuk stase baru berikutnya, membuat kami bisa menghirup nafas sedikit lebih panjang, apalagi bagi yang baru keluar dari stase besar dan akan masuk ke stase kecil, kehidupan koass. Hujan turun dengan diam-diam, tak pelak membuat kaca basah, jalanan basah, dan hatiku ikutan basah. Tuhan, senang merasakan siramanMu kembali, di lingkaran kecil ini aku merasa, Engkau ada.

 

Apa itu? Firasat, seperti kata Dee? Atau feeling, seperti yang temanku selalu bilang? Mungkin bukan. Mungkin itu yang disebut bisyaroh. Mungkinkah, isyarat Allah; sebuah peristiwa yang membuat kita berkembang?

 

Hari ini tentang kesembuhan, tentang kesehatan, tentang keajaiban, tapi juga tentang kesombongan, tentang wewenang, tentang tugas, dan tentang masa depan itu sendiri.

Kami lebih banyak bercerita tentang kehidupan. Ayat2 kauniyah yang bertebaran. Menggali-gali kembali ingatan. Kadang menyangkal, kadang mempertanyakan. Banyak hal, mengenai apapun di sekeliling kami, keseharian, yang terasa begitu berat kadang, kini dilihat dari sisi yang berbeda, mendapat dukungan yang berbeda. Dan kembali. Itu intinya, kembali ke eksistensi kami sebagai hamba. Membangunkan kembali keimanan yang tertidur lelap berapa lama. Mengingatkan. Nasehat menasehati dalam menetapi kebenaran dan kesabaran. Menyadari bahwa jiwa ini rapuh, mudah berbolak-balik seperti daun yang tertiup angin.

 

Di tengah lingkaran itu kadang disediakan makanan, kadang hanya ada air yang bening. Semua itu lebih dari cukup, dan hanya pelengkap semata. Yang selalu ada di tengah-tengah lingkaran itu, di tangan kami, adalah Al Qur’an, sebagai cahaya, bukan sekedar bacaan pembuka. Semuanya dilandaskan dari sana. Tempat seorang muslim  seharusnya memang demikian. Satu halaman, beberapa ayat, banyak hikmah. Diam2 aku memohon; berjanjilah untuk tidak melepaskan kami, Tuhan…

Friday, April 3, 2009

Mengurus Perpanjangan SIM...Sendiri


 

Seperti trenggiling yang bisa menjadi bola2 lalu menggelinding bebas, atau landak yang tak peduli jika hewan lain bisa tertusuk durinya. Aku memakai ‘filosofi’ ini untuk menghadapi hari itu. Saat aku harus mengurus perpanjangan SIM-ku sendiri di Polres Bekasi. Cuek dan tegar

SIM A – ku sudah kadaluwarsa hampir 2 bulan. Sebagai warga negara yang baik, maka aku berinisiatif mengurus perpanjangannya sendiri, tanpa batuan calo (huu…). Oke, tadinya aku memang akan meminta bantuan agen, mengingat waktuku tidak banyak, dan membayangkan betapa ribetnya urusan administratif seperti ini, belum2 sudah underestimated duluan. Untungnya (atau anehnya) agennya menolak, malah menyarankan untuk mengurus sendiri. Katanya hari gini pemilu, banyak polisi2. Trus? Perasaan ga ada hubungannya deh. Kemudian dia menyebutkan ancer2 biaya yang harus dikeluarkan, dan katanya pula mengurus SIM sekarang ini cepat, tidak perlu seharian nongkrong di Polres.

Okelah, batinku, coba saja.

Hm, bayanganku ternyata tepat. Saat aku turun dari kendaraan dan hendak masuk ke polres, orang2 yang berdiri di sekitar situ seperti sudah bisa membaca pikiranku, “Perpanjangan SIM, Neng? Yuk, abang bantu yuk!” cenanyang2 hebat bermunculan.

Waw, ogah banget deh , yang ada aku lari, hehe…

Tapi bukan gitu caranya. Entah belajar dari mana (mungkin dari pengalaman jadi preman kampung melayu 3 taun ya, hihihi..), aku mengangkat wajah, pandangan lurus ke depan, langkah kaki tegas lebar-lebar, dan jangan buang2 waktu dengan celingukan apalagi menanggapi mereka, pokoknya jangan terlihat kalau kita bingung dan siap ditipu lah. Pandangan memang lurus ke depan, tapi lapangan pandang kita maksimalkan dong, apa gunanya punya 2 mata kalau gitu coba (gebet cowok cakep, polisi ganteng… gubraks!). Perhatikan sekeliling, baca situasi, cari sesuatu yang bisa dipercaya, seperti tulisan ‘pengurusan SIM’ bla..bla..bla… Dan ternyata tulisan itu ada, tersembunyi di pojokan, tidak akan terlihat dari luar, kecuali anda sudah masuk ke serambi.

Agak lega, tapi masih melangkah dengan sikap sok tahu, kuikuti saja terus tanda panah-tanda panah itu, melewati lorong dengan berbagai ruangan-ruangan di samping-sampingnya, membingungkan. Jadi daripada kelamaan bingung, aku masuk WC saja dulu (trik nomor 14: miksi mengurangi ketegangan, mengosongkan kandung kencing, dan merupakan kesempatan emas untuk merapikan make up, hihihi…).

Selanjutnya kembali ke jalan yang benar, aku menemukan bapak2 bersegaram dalam box kaca bertuliskan informasi SIM. Hm, I think he’s Mr. Right. Jadi aku tanya padanya, darimana aku harus memulai jika ingin memperpanjang SIM.

Aku mengangguk cepat dan tidak berlama2 disana, karena ternyata aku harus keluar lagi, cek kesehatan di luar gedung. Wow, dimanakah itu? Kita lihat saja. Jadi aku pasang lagi aksi sok pede-ku, tanpa banyak bertanya, langsung lurus ke gang di samping polres. Gang itu makin lama makin menyempit, tapi tidak ada tanda2 atau tulisan poli kesehatan, yang ada malah tempat narkoba. Wuidih, hampir panik, tapi tahan..tahan.. keep cool, calm, confident. Ya, confident, itu yang penting. Aku masuk ke bangunan terakhir di ujung gang itu, tempat beberapa orang duduk di kursi panjang. Lagi2 tanpa tanda poli kesehatan. Mataku menangkap tulisan yang ditulis asal-asalan di sebuah kotak pulpen dari kertas di atas satu2nya meja disana, “SIM BARU”. Hm, setidaknya masih ada bau2 SIM-nya. Jadi aku langsung masuk saja ke bangunan itu, menemukan satu2nya ruangan dengan pintu terbuka dan berisi beberapa orang yang duduk di belakang meja. “Perpanjangan SIM, Mbak?” lelaki yang paling muda, tanpa seragam, di salah satu meja itu, adalah cenanyang kesekian yang kutemui hari ini. Dan kali ini aku menurut.

Tes kesehatan. Jadi lelaki itu meminta SIM lamaku, 2 lembar fotokopi KTP-ku, dan menanyakan tinggi serta berat badanku. Setelah itu aku pindah meja, kali ini seorang ibu-ibu dengan seragam, langsung membuka buku dihadapanku dan bertanya, “Ini?”

Aku menyebutkan angka yang tertulis. Empat kali di lembaran ischihara yang berbeda, lalu pertanyaan minus kacamataku. Well, cepat sekali pemeriksaan kesehatan ini. Aku pun membayar 22ribu (entah resmi entah tidak, karena tidak ada kuitansinya), lalu pergi dengan membawa selembar kertas kuning hasil pemeriksaan seadanya itu.

Oya, sebelumnya perlu kuperingatkan, agar membawa fotokopi KTP anda sebanyak 4 lembar untuk mengurus perpanjangan ini. Fotokopian di dekat situ mahal sekali, masa’ aku fotokopi 5x = 2000 perak, huhu...

Selanjutnya aku masuk kembali ke gedung polres, membayar asuransi sebesar 15ribu rupiah di salah satu loket. Kemudian berpindah ke loket lainnya bertuliskan PERPANJANGAN SIM RP. 60.000,-. Mengambil seberkas formulir yang harus diisi, dan teringat bahwa aku tidak bawa pulpen.

Ini saatnya menurunkan sedikit kadar kecuekanku dan mengintip korban yang tepat untuk dipinjam bolpennya. Pertama, seroang lelaki berkaus hitam, tapi ternyata ia mau ujian tertulis, jadi ia mengambil kembali bolpennya sebelum aku sempat memakainya. Kemudian, dan ini yang terakhir, korban yang lebih aman, mbak2 yang lagi duduk terbengong2, dan dia bawa bolpen. Thank’s a lot, mbak! Jadi bagaimana cara mengisinya? Aku dengan bodoh 2x bolak-balik ke loket krn ada yg belum terisi, dan tampaknya petugas loket itu mengerti, oh mungkin aku sendirian yang bodoh.

Setelah mengembalikan formulir di loket III (untuk mengurus SIM baru di loket II), aku duduk dan memulai fase penantianku. Aku bisa lebih bebas mengamati sekarang, tempat pengambilan foto di sebelah dalam, dan tempat tes tertulis di dalamnya lagi dimana banyak orang duduk-duduk. Wah, aku tidak ingat dulu aku melakukan semua itu (ya iyalah, orang SIM aja nembak!).

Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk panggilan itu. Bapak berseragam di dalam box kaca informasi SIM yang melakukannya dengan suara lantang dan logat sunda yang kentara. Aku foto, tanda tangan, dan cap jempol tangan kanan dan kiri. Kemudian aku dipersilakan menunggu lagi di tempat yang sama.

Tak lama TOA di loket IV bergemerisik, menyuarakan beberapa nama dengan namaku diantaranya, dan sang petugas menyerahkan SIM baru kami. Total aku menghabiskan waktu satu jam dan rupiah 99.000,- untuk sebuah perpanjangan SIM dan kartu asuransi dengan jangka 5 tahun ke depan, sesuai dengan ancer2 yang disebutkan si agen yang sempat menolakku.

Aku turut berbangga, untuk kejujuran (dan memang sudah seharusnya begitu kan?), kecekatan (cuma 1 jam di kota macam bekasi, hebat ga sih?!), dan keramahan para petugas (yang merasa). Masih banyak kekurangan di sana-sini tentu saja, dan kebingungan2 yang kadang menimbulkan ke-underestimated-an bagi masyarakat. Tapi rasanya kita bisa. Bisa menjadi lebih baik asalkan kita mau berjuang untuk itu. Tidak pernah mudah, dan tidak pernah begitu menyenangkan pada awalnya. Namun mengapa tidak? Untuk perubahan yang lebih baik, untuk Indonesia kita, untuk pemilu tahun 2009 ini… mungkin dari sinilah awalnya.

 

Thursday, March 26, 2009

Daun-daun Berguguran


 

Daun-daun berguguran, digantikan pucuk2 daun muda. Kematian adalah rahasia alam, tapi juga sekaligus sebuah kepastian. Hanya saja, kita tidak pernah tahu kapan dan bagaimana kita akan mengakhirinya.

 

***

 

Pemakaman terakhir yang kuhadiri sebelum ini, yang hingga benar2 sampai di lokasi pemakamannya, kurang lebih dua tahun lalu. Saat itu cuacanya juga mirip seperti sekarang. Udara sangat panas, matahari enggan berbaik hati menyengatkan sinarnya, jika temperatur diukur mungkin mencapai 35 derajat celsius. Akan tetapi, ketika saatnya jenazah akan menemui asal penciptaannya, yang dari tanah kembali ke tanah, tiba-tiba saja awan bergerak memayungi, angin semilir pelan menyejukkan, hingga kemudian doa-doa panjangpun bisa dipanjatkan dengan lebih tenang.

Berbeda dengan pemakaman yang lalu, yang dipenuhi dengan pelayat, berpakaian hitam-hitam, yang asing wajah2nya bagiku. Pemakaman kali ini jauh lebih sederhana, di tempat pemakaman umum, tanpa upacara kenegaraan yg bersifat simbolis, tanpa derap langkah prajurit, dan tanpa tembakan senapan ke udara. Yang hadir, aku tahu, sebagian besar adalah kerabat, sebagian kecilnya tetangga, dan beberapa remaja masjid yang membantu mengusung keranda. Prosesinya berlangsung cepat. Secepat perginya ia, batinku.

 

***

 

Nisan baru. Warnanya dibuat serupa dengan warna nisan2 di sekelilingnya. Kelak, saat hari raya nanti, ada satu nisan lagi yang akan mendapat anggrek dan mawar kami. Yah, jika kami tidak segera menyusulnya. Semoga ia, amal, dan ibadahnya diterima disisi Allah SWT.

Tuesday, March 24, 2009

Good Friend, Good Day


 

Kuhitung, 10 minggu sisa waktu kami di Kariadi . Aku sangat menikmati hari2 kebersamaan yg luar biasa bersama teman2 ini. Ber beda tentu saja dg stase ikm yg seharian penuh, 24 jam kami bersama. Atau stase obsgin yg membutuhkan 1001 kesabaran, ketelatenan, dan pemakluman. Di stase ini pertemuan kami terbatas, tp ternyata solidaritas itu tak terbatas.

Saat itu adalah fase plateu dari suatu kejadian yg membuat tensi semua orang naik. Dari luar aku pasti tampak kacau dengan mengenakan jaket, training tidur, dan jilbab yang warnanya tidak matching. Waktu berlari cepat. Aku sampai kaget saat ditanya suster UGD kira2 jam berapa kejadiannya. Hampir dua jam, dan aku tak merasa lelah atau mengantuk. Baru, ketika akhirnya aku bisa duduk di ruang tunggu radiologi, aku sempat menelepon, menjawab telpon, sampai ada satu telepon masuk, bukan dari anggota keluarga, tapi dari seorang teman. 

Teman adalah teman, bagiku urutan kesekian setelah keluarga untuk kejadian serumit ini, semendadak ini, dan setragis ini. Makanya aku tidak ingin merepotkan mereka, toh sejauh ini baik2 saja, dalam artian, aku belum cukup panik untuk memberitahu semua orang, jadi aku tidak perlu melakukannya.

“Paling magrib nanti aku pulang…” alasanku. Sebenarnya itu doaku, doa untuk menenangkan diriku sendiri, sementara aku masih punya tugas menangkan yang lain.

Saat akhirnya aku bisa pulang, yang bukan sekedar untuk pulang dan beristirahat. Saat itulah, seperti di dalam cerita dongeng, dimana tongkat ajaib mengetuk, dan bidadari muncul dihadapan, plop! Segelas jus melon dengan susu terulur untukku.

Sekejap, aku lupa lapar dan hausku, lupa sedih dan kebingunganku. Aku tersenyum lebar dan mataku berbinar hidup kembali, seperti baru melihat ada dunia lain yang kumiliki.

Ada orang yang ingat, ada orang yang peduli, dan ada orang yang datang, bukan untuk siapa2, tapi untuk seorang sahabat, dari persahabatan yang kupikir biasa saja.

 

 

NB: I’ve never been so close to anybody before. Thank’s for the juice, n the friendship we have.

Tuesday, March 17, 2009

Tentang Psoriasis

 

Masih ingat tentang kisah Yusdika, bocah bersisik? Yusdika diperkirakan menderita penyakit kulit yang disebut psoriasis. Artikel ini berisi beberapa pertanyaan yang sering diajukan dan jawabannya, berguna untuk mengerti lebih baik tentang psoriasis.Untuk teman2 medis, artikel ini mungkin dapat berguna untuk edukasi pasien dan masyarakat di sekitar kita.

 

Apa itu psoriasis?

Psoriasis adalah penyakit kronis kulit, yang dialami 1-3% dari populasi (setara dengan lebih dari satu juta orang di negara kami). Tipe psoriasis yang paling sering terjadi adalah psoriasis diskoid atau psoriasis vulgaris, yang berciri lesi eritematosa dilapisi dengan skuama atau kerak tipis berwarna putih keperakan yang menempel. Psoriasis dapat muncul pada beberapa area yang kebanyakan khas, seperti siku, lutut, kulit kepala, dan regio sakroiliaka, atau dapat juga meliputi area kulit yang luas pada tubuh. Bagaimanapun, kebanyakan kasus hanya menunjukkan bentuk yang ringan, terbatas pada beberapa daerah.

 

Apakah psoriasis penyakit yang menular?

Tidak. Psoriasis tidak menular.

 

Siapa yang secara khas terkena psoriasis?

Wanita maupun pria dapat mengalami psoriasis dengan persentase yang mirip secara virtual. Penyakit ini dapat muncul pada umur berapapun, tapi kebanyakan antara 15 dan 35 tahun. Onset umur rata-rata adalah 28 tahun.

 

Apa penyebab psoriasis?

Penyebab psoriasis belum diketahui dengan pasti. Studi terbaru menyatakan bahwa penyakit ini akibat kelainan imunologis. Kita mengetahui bahwa psoriasis terdiri atas perubahan pertumbuhan (pergantian) sel kulit. Siklus evolusi sel kulit normal adalah 28-30 hari, sedangkan sel kulit yang mengalami psoriasis mempunyai siklus sel yang lebih pendek, dari 3 hingga 6 hari.

 

Apakah hanya ada1 tipe psoriasis?

Tidak, banyak tipe psoriasis. Psoriasis discoid adalah yang paling sering. Tipe lain dapat dibedakan menurut bentuk tampilannya, mulai dari bentuk gutata, berciri lesi kecil bentuk drop, higga bentuk nummular, dengan lesi berbenuk koin, hingga bentuk dengan bentuk yang berbeda atau mirip dengan peta geografi, circinata, dll. Kemudian kita dapat membedakan lesi pustular tipikal, biasanya ditemukan dalam bentuk terlokalisasi atau meluas; psoriasis inverted, berciri lesi pada plika (lipatan tubuh); psoriasis eritrodermal atau universal, berciri keterlibatan seluruh kulit tubuh.

 

Bagaimana psoriasis didiagnosa?

Seorang dokter, atau lebih baik seorang spesialis kulit, akan menyatakan diagnosisnya setelah observasi kulit dan menghubungkan anamnesis pasien dengan tanda klinis yang terlihat, tidak hanya pada kulit tapi juga pada kuku dan kulit kepala. Hingga kini, belum ada tes yang dapat menunjukkan bukti yang nyata untuk diagnosis psoriasis.

 

Bagian tubuh mana yang dapat terkena psoriasis?

Paling sering, psoriasis terjadi pada kulit kepala, lutut, siku, tangan dan kaki, sementara psoriasis jarang terjadi pada wajah. Bagaimanapun, tidak ada area kulit yang benar-benar bebas, termasuk daerah genital.

 

Orang seperti apa yang biasanya terserang psoriasis?

Tidak mungkin untuk memprediksi siapa yang akan kena psoriasis. Faktor herediter atau genetik tidak diragukan memainkan peranan yag penting. Model etiologi yang sangat terpercaya menyebutkan bahwa sejumlah faktor genetik berperan bersama dengan sejumlah faktor diluar genetik, menentukan orang pre-psoriasis (atau psoriasis laten), yang kemudian teraktivasi oleh faktor pencetus. Hal tersebut pertama kali akan disebut psoriasis awal, dan kemudian beberapa faktor lain seperti trauma fisik kulit, infeksi, stress, dan yang lainnya dapat dianggap sebagai faktor pencetus dan pembuat terus menerus.

 

Dapatkah psoriasis disembuhkan?

Tidak, tidak ada pengobatan definitif untuk psoriasis, tapi banyak terapi topical maupun sistemik yang dapat mengontrol penyakit setidaknya untuk jangka waktu pendek atau yang lebih lama. Penelitian menunjukkan setiap individu akan bereaksi berbeda dengan terapi yang berbeda, dan kadang remisi spontan dapat terjadi, meski tidak seorangpun menjelaskan alasannya hingga kini.

 

Apakah psoriasis penyakit yang mematikan?

Ya. Komplikasi yang muncul akibat psoriasis dapat mengakibatkan kematian pada pasien. Seperti komplikasi yang bisanya muncul pada subjek yang menderita psoriasis bentuk berat, seperti bentuk pustular yang rata. Kulit mempunyai peran yang penting untuk mengatur temperatur tubuh dan regulasi fungsi barrier terhadap infeksi. Saat psoriasis terjadi pada area tubuh yang luas, subjek dapat mengalami infeksi sekunder dan kehilangan cairan, yang dapat merusak keseluruhan organisme.

 

Apakah psoriasis berhubungan dengan penyakit lainnya?

Kira-kira 10% orang yang menderita psoriasis juga mengalami arthritis psoriasis. Hal tersebut umumnya terjadi pada bentuk ringan arthritis pada sendi-sendi kecil di tangan dan kaki, tapi bagian tubuh lain juga dapat terkena.

 

Dapatkah pasien psoriasis hidup dengan normal?

Kebanyakan orang yang menderita psoriasis menjalani hidup normal. Kadang pasien psoriasis mengalami masalah psikologis pada kehidupan sosialnya saat berdekatan dengan orang lain, dan ini dapat menyebabkan gangguan emosional seperti kecemasan, kemarahan, malu, dan depresi.

 

Apakah sumber mata air panas adalah solusi yang berarti untuk terapi psoriasis?

Sumber mata air panas atau terapi termal seharusnya tidak dilihat sebagai alternatif terapi obat, sebagaimana kemudian hari ini telah mencapai tingkat yang lanjut, atau mengenai bentuk-bentuk terapi lainnya; pada sisi yang sebaliknya, ini dapat menunjukan secara pasti pilihan temporer yang berarti sebagai pelengkap terapi lainnya, karena membantu sifat terapetik terapi lainnya, sebagaimana yang dialami oleh jutaan subjek di negeri ini.

 

Apakah obat-obat alami adalah terapi yang berarti?

Ya, tapi hasilnya masih bersifat subjektif. Beberapa orang mencapai hasil yang baik, sementara yang lainnya mengalami efek yang merugikan. Pada kasus apapun, kami menyarankan rujukan pada orang yang berkualifikasi untuk terapi-terapi seperti itu.

 

Mengapa sangat penting menemukan terapi untuk efek psoriasis, meski itu hanya solusi sesaat?

Pasien psoriasis cenderung mensomatiasai penyakitnya, yang berakibat pemburukan gambaran klinis umum. Karena banyak orang mulai menderita penyakit ini saat usia mereka muda, kehidupan sosialnya dapat terganggu secara signifikan dengan konsekuensi psikologis akibat rasa malu yang dialami. Lagipula, pada banyak kasus psoriasis dapat menimbulkan halangan fisik yang nyata.

 

 

***

(Diterjemahkan dari information and instruction document about the Excilite system for Dekas’s sales force – January 2004)

Saturday, March 14, 2009

Pilihan

Ia menikah beberapa tahun lalu, saat usianya seusiaku. Memilih jalan yang tidak banyak orang pilih: menikah saat koass, dijodohkan, asing dengan calon pasangan yang berjarak usia hampir 1 dekade, namun kemudian… bahagia.

Alangkah mirip wajah putranya yang kini berusia 2 tahun. “Sedang lucu2nya ya…!” seruku antusias saat ia memulai ceritanya. Cerita yang ternyata tidak selalu bahagia. Ada bagian sedihnya juga, walau bukan sesuatu yang istimewa, walau mungkin sangat klasik seklasik cerita Cinderella.

Umurnya, mungkin hanya berselang 2 atau 3 tahun denganku. Namun kematangan tidak hanya hadir pada penampilannya yang senantiasa rapi bermake-up, tapi juga dari sekian pilihan dalam hidupnya. Pernikahan dininya, kepergiannya PTT ke luar pulau, dan kini meninggalkan putra semata wayangnya untuk melanjutkan studi. Pilihan itu, aku tahu tidak mudah. Sekilas, kutangkap sedih yang berkelebat meski samar.

Ia menunjukkan padaku foto lelaki kecil itu di mobile phone-nya. Buah cintanya. Tampak sehat dan menggemaskan. “Dalam sehari ia bisa menghabiskan 8 botol susu, dan itu pun botol yang besar!”

Kubiarkan ia bertutur mengenai cintanya, kerinduannya. Malam itu, bukankah seharusnya seorang ibu ada di samping putranya? Membacakan bocah balita itu buku bergambar kesayangannya, mengajarinya doa sebelum tidur dan doa untuk kedua orangtua, lalu menyelimutinya ketika lelap dan mencium hangat keningnya hingga bocah iu merasa aman, dipenuhi kasih saying ibunya. Tapi sekali lagi, ini pilihannya, pilihan yang memilikki risiko yang tidak mudah bagi ibu muda sepertinya..

“Aku sempat sakit hati,” kelebat itu datang lagi. Saat studinya menuntut ia untuk membawa tugas-tugas ke rumah, dengan marah lelaki kecil itu menolak dirinya. Mungkin lelaki kecil itu sudah lebih dulu saki hati. “Aku nggak mau tidur sama mamah! Kalo mamah masih bawa-bawa buku, aku tidur sama mbak aja!”

Tergantikan. Perannya tergantikan untuk pilihan perannya yang lain. Apakah memang harus memilih satu dan tidak boleh dua? Apakah totalitasnya sebagai ibu harus dipertanyakan jika ia juga berkarier di luar rumah?

Itu adalah pilihannya. Sama ketika dulu ia memilih untuk menikah muda, ketika ia pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Itu adalah perjuangannya. Hanya ia yang tahu persis bagaimana bentuk kebahagiaanya, dan bagaimana bagian sedih itu menjadi pelengkapnya.    

Thursday, March 5, 2009

Bagian Terindah Sebuah Cerita

Bagian terindah dari sebuah cerita itu, kutemukan bukan pada ending-nya, tapi bagaiamana cerita itu mencapai ending-nya.

***

Mataku berkaca-kaca. Berulangkali kali berkaca-kaca. Malu sih sebenarnya. Tapi apa daya, “Biar ga bersisa,” alasanku pada tetes yang terakhir. Tapi aku harap itu bukan yang terakhir. Nanti akan bersambung lagi, tapi bukan dihadapan manusia kaya’ gini, benar2 memalukan.

Awalnya di undian itu. Ketika aku tahu pengujiku dan memberitahu orang lain yang bertanya siapa pengujiku, entah kenapa wajah orang2 itu ikut prihatin. Like I’d face my doom day. Hey, aku sudah melewati lebih dari 10 stase koass, so many battles I’ve past, masa’ aku mau kalah di pertarungan ini? Yang benar saja. Nanti saja santai2nya, kalau sudah tua, kalau sudah renta, ga bisa apa2, terserah deh mau tidur berapa masa. Tapi kalo sekarang menyerah, no way lah.

Jadi, mungkin aku sengaja juga, saat memilih pasien baru itu sebagai pasien ujianku. Efusi kiri full, pikirku aku jadi ga perlu pf jantung. Entah kenapa, inginnya menghindar malah membuatku terjebak. Pasien itu ternyata pasien jantung!

Diagnosaku benar2 meleset. Dan itu terjadi di hari aku ujian.

“Dokter menegakkan diagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kalau pemeriksaan fisik salah, maka diagnosanya juga salah!”

Pengujiku meniggalkanku dengan kata2 itu terus terngiang di telingaku. No examination today.

Aku sudah melakukan semua yang aku bisa. Mungkin Tuhan mengerti. Jadi beliau memberiku satu kesempatan lagi. Seperti Tuhan telah memberikanku beribu2 kesempatan. Kesempatanku untuk kembali. Yang seringkali aku indahkan. Mungkin Tuhan cuma mau aku kembali. Menyebut namaNya, dan memohon.

Masa’ harus begini caranya, Lin?

Hasilnya sudah ada kok, Lin. Tinggal prosesnya… Proses yang sungguh2, dan permohonan yang sungguh2.

Maka kutuliskan, bukan hanya di note pad-ku, tapi juga di hatiku, bismillahi tawakalna alaullah…

***
Seperti sebuah cerita bagiku, barangkali, itu juga yang ingin Tuhan lihat dari kita, dari makhluk yang telah ia tetapkan 4 hal darinya: rizki, ajal, amal, dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Tuhan ingin sebuah proses. Proses yang akan membuat kita sempurna sebagai makhluk. Hingga ketika kita pulang, kita bisa mengatakan, ini lho Robb yang aku lakukan… Hasilnya, sungguh terserah Tuhan.

Tuesday, February 17, 2009

Too much


 

Kadang kita butuh kebahagiaan, dan bentuk kebahagiaan itu adalah kebahagiaan orang lain.

 

***

 

Hari ini KPS kami resmi berganti. Dokter Kris secara simbolis menyerahkan setumpuk buku pada dokter Bantar, dan dua kotak roti secara simbolis untuk kami :P

Kata temanku ia terharu karena merasa dipercaya. Sementara aku juga terharu, lebih karena kata2 dokter Kris saat memberi pesan pada penggantinya setelah puluhan tahun memegang tanggungjawab itu.

“Suatu saat mereka,” beliau menatap kami, “Akan menjadi orang yang akan kita temui di tempat yang tidak kita sangka-sangka.”

Tempat yang tidak disangka? Suatu saat?

“Seperti saya juga tidak menyangka bahwa saya akan melakukan kunjungan rumah pada guru saya untuk memeriksanya,” lanjutnya tenang, “Kita suatu saat akan datang kepada mereka. Mungkin dengan keluhan…”

 

***

 

Ini hanya sebuah siklus dunia. Dimana kami berada di dalamnya. Hanya masalah waktu. Namun dapatkah kami memanfaatkan sebaik2nya? Hingga suatu saat kami juga dapat mempersembahkan yang terbaik.

 

Soliter atau mandiri?


 

Dua kata itu sebenarnya saling berhubungan tidak sih?

Orang yang soliter pasti mandirikah? Atau haruskah orang menjadi soliter dulu agar bisa mandiri? Karena rasanya seperti dilema. Kalau kita terbiasa bersama2, sendiri rasanya menjadi aneh dan tidak menyenangkan. Tapi jika kita terbiasa sendiri, kalau harus melakukan apa2 sendiri ya fine2 saja kan.

Tapi haruskah?

Semakin kita dekat dengan seseorang bukankah kita semakin bergantung pada orang itu. Untuk hal2 kecil saja. Pasti akan merasa kehilangan dia jika dia tidak ada padahal biasanya ada.

Fyuh, untung bukan hal2 besar. Aku merasa mulai dependen. Mulai merasa takut saat dia tidak ada. Mulai merasa aku tidak sanggup, dan kehilangan.

Aneh deh. Sudah lama banget rasanya tidak seperti ini. Dan aku tidak suka. Inginnya aku mandiri, tapi tidak jadi soliter. Tapi gimana?

Seharusnya kita bisa membedakan keduanya, kapan kita harus melakukan segalanya sendirian, dan kapan kita memang harus mengajak orang lain terlibat dalam hidup kita.

Mungkin aku tidak terlalu ahli dalam hal itu, jadinya daripada menyebalkan seperti ini aku pilih soliter untuk mandiri. Entah sampai kapan. Sampai ada orang yang bisa membuatku tak soliter tapi tetap mandiri.

Adakah?

Sepertinya itu lebih tergantung padaku, bukan padanya

Thursday, February 12, 2009

Februari Tahun Depan


 

Bayang2 itu tampak indah. Bayang2 akibat cahaya lilin di sebuah lorong rumah sakit yang sepi. Dengan mendadak, seperti dikomando, suasana menjadi ramai, riuh, penuh ucapan selamat, kebahagiaan.

Dan itu untukku.

Maka sebelum kutiup lilinnya, ijinkan aku mendoakan kalian semua, teman-teman. Kuharap kebersamaan kita tidak sia2. Sebab Februari tahun depan, aku tahu, tidak akan mungkin sama seperti ini lagi...

 

 

Tuhan memenuhi janjiNya


Seperti dulu ketika aku memohon2 dengan sangat supaya aku bisa nyetir mobil sendiri. Dia bilang Dia akan selalu mengabulkan permohonan hambanya. Dan aku telah membuktikanya. Dia benar mengabulkannya. Beberapa tahun kemudian (meski harus beberapa tahun), aku bisa bawa mobil sendiri. Mungkin Dia sedikit menundanya, dalam beberapa tahun itu, agar aku lebih matur, agar aku tahu bagaimana rasanya memohon, dan agar aku selalu ‘bicara’ dengan-Nya.

Itu persis, persis sekali dengan sekitar 6 tahun yang lalu, ketika aku memohon di sepertiga malam, agar dipilihkan universitas yang terbaik. Dalam hati aku mengeluh di Jakarta. Aku memimpikan tempat yang lebih lapang agar aku bisa bergerak lebih bebas. Lalu saat pengumuman SPMB tiba, aku benar2 tidak diterima di UI, pilihan  pertamaku, tapi di Semarang, kota kelahiranku. Dia benar2 tahu, dan seperti namaNya, Dia memenuhi janjiNya.

Tampaknya wajar jika semua itu terjadi, semua permohonan itu terkabul, saat aku benar2 berinteraksi intens denganNya. Namun ternyata itu semua tidak hanya terjadi ketika kami benar2 dekat. Sempat aku merasa jauh. Jelas bukan karena Dia, tapi karena aku. Saat itu aku juga memohon dalam kesempitanku. Sempat aku berpikir, wajar saja jika Dia tak peduli padaku, karena aku juga bersikap tak peduli padaNya. Tapi mungkin karena terpaksa, aku memohon juga. Aku tak berharap banyak dikabulkan kali ini, tapi aku tetap berharap karena setahuku, setahuku Dia Maha Mendengar, Dia Maha Pengasih, dan Dia Maha Menepati Janji. Kemudian aku melihat bagaimana doaku perlahan-lahan dikabulkan. Tidak mudah, tapi aku dapat merasakan ‘tangan’Nya mengatur semua itu. Luwes dan indah sekali. Lagi, Ia menepati janjiNya, meski saat aku tak menepati janjiku.

 

***

 

Maafkan aku.

 

***

 

Tuhan memenuhi janjinya, jika ada yang ingkar, itu kita, dan entah kenapa Ia tetap memenuhi janjinya.

Tuesday, February 10, 2009

Baca BGA


BGA (blood gas analysis) atau analisa gas darah adalah pemeriksaan untuk menentukan keadaan gagal nafas dan evaluasi gangguan asam-basa tubuh

Sampelnya diambil darah arteri. Bersama dengan sampel disertakan pula catatan mengenai suhu tubuh penderita dan apakah dalam terapi oksigen.

Hasil pemeriksaan BGA biasanya tertera sbb:

Temp:adalah temperatur tubuh

FiO2: konsentrasi O2 pada lingkungan, normal 21%, jika penderita memakai nasal kanul atau masker oksigen, berarti konsentrasinya lebih dari itu

PH: normal 7,35-7,45. Jika kurang dari itu berarti asidosis, jika lebih berarti alkalosis, jika dalam rentang itu kemungkinannya bisa memang normal atau abnormal, makanya lihat BE (base excess)

Base excess: normal + 3. Jika lebih (-) berarti asidosis. Selanjutnya lihat HCO3 dan PCO2-nya.

 

Asidosis

 

HCO3

PCO2

PH

Metabolik

Tak terkompensasi

N

 

Terkompensasi sebagian


 

Terkompensasi sempurna


N

 

Alkalosis

 

HCO3

PCO2

PH

Metabolik

Tak terkompensasi

N

 

Terkompensasi sebagian


 

Terkompensasi sempurna


N

 

Untuk yang respiratorik, prinsipnya juga sama.

Semoga bermanfaat.