Sunday, February 21, 2010

Kebahagiaanmu Kebahagiaanku

Rasanya puas kalau bisa membantu orang lain, rasanya seperti… sudah melakukan hal yang benar, dan itu meningkatkan penghargaanku pada diriku sendiri, haha!

Tiga hari jaga di klinik di pinggiran metropolitan pada minggu yang berbeda. Minggu pertama pasien paling mengesankan adalah pasien KDK (kejang demam kompleks), yang setelah kudiskusikan dg ’supervisor’ku ternyata sudah masuk status konvulsivus. Dan alhamdulillah menurut beliau langkah yang kulakukan sudah benar, dengan segera merujuknya ke rumah sakit terdekat setelah memberikan stesolid dan proris rektal, oksigen, dan (sedikit) menenagkan ibunya. Di hari pertama itu juga rasanya aku dites untuk mengambil darah balita. Wah, tau sendiri aku paling phobi kalau disuruh nusuk anak2, sudah pembuluh darahnya kecil, gerak melulu, ditambahnya akunya yang kurang terampil. Tapi perawat itu sungguhan tidak bisa melakukannya. Ia sudah mencoba beberapam kali, beberapa lama, hingga kemudian ia tampak menyerah dan memintaku melakukannya. Hm, aku tak yakin, api akan kucoba. Kutanya sebelah mana yang belum ditusuk, ternyata di punnggung kakinya, ada gambaran vena superfisial tipis, tapi lumayan jelas, jadi seharusnya aku bisa kan? Tak kan ada yang percaya aku bisa sampai aku mempercayai diriku sendiri, jadi kulakukan saja, dan alhamdulillah berhasil walau cuma dapat 1 cc. Tuhan Maha Baik, aku sudah hampir menyuruhnya pergi, tapi aku tahu aku harus melakukan yg terbaik semaksimal mungkin dulu.

Pada minggu kedua, pasien paling unik adalah gadis ABG yang digotong masuk beberapa lelaki muda. Ia pingsan. Aku langsung meminta ijin pada pasien yang sedang kuperiksa untuk menangani kasus itu dulu. Ketika kudekati, menilai dengan cepat keadaan umumnya, tanda vitalnya, aku tahu, aku pernah menemui kasus seperti ini sebelumnya, tidak ada yg perlu dikhawatirkan. Matanya terpejam, tapi aku tahu tidak sungguh2 terpejam. Saat dipanggil2 dan kutepuk pelan, ia menyahut dan mengeluh sakit kepala. Ia berpura2, atau mungkin lebih tepatnya ia ingin lari tapi tak menemukan tempat bersembunyi sehingga memejamkan mata dan menjadi sakit adalah pilihan yang paling mudah. Ya, dia pasien konversi histeri, kutulis demikian di statusnya saat perawatku bertanya, ia akan baik2 saja. Yang menyentuh hatiku, gadis itu masih sangat muda, masih anak2, entah apa masalahnya karena yg mengantar bercerita dengann tidak begitu jelas dan aku tidak berniat mengorek2nya. Ia seumuran adik bungsuku, seharusnya ia aman di rumahnya, di tengah2 keluarganya. Saat pasienku habis, dan berkesempatan mendekatinya berdua saja, aku mengatakan agar ia tenang dan tegar, ia tak sendirian, dan ia bukan berada di posisi yang terburuk. Oya, namanya mencerminkan agamanya, jadi dengan jelas kuingatkan untuk percaya pada Tuhannya. Setelah ia makan dan minum obat, ia bisa pulang dengan menyunggingkan senyum. Betapa bahagianya aku mendengar ucapan terimakasihnya yang tulus. Aku tidak berhak untuk menerimanya, tapi aku rasa aku cukup berhak untuk ikut bahagia.

Di minggu ketiga aku terkejut waktu diberitahu ada insentif dari RS dimana kurujuk pasien KDK 2 minggu yang lalu. Aku baru tahu ada program macam itu, kerjasamakah, ataukah ini cara mereka menarik pasien? Entahlah. Hari itu pasien yang paling mengesankan adalah seorang wanita setengah baya yang datang dengan dibopong. Sebelumnya perawatku mengatakan bahwa tadinya dia hanya mau cek asam urat, tapi sayangnya lab sudah tutup. Hey, itu bukan ’sayangnya’, itu adalah ’untungnya’. Karena setelah kuperiksa ia menunjukkan tanda2 stroke progresif, bukan sekedar asam urat. Tadinya aku percaya saja kata2 keluarga yang mengantarnya. Tapi bukan dokter namanya jika tida melakukan pemeriksaan fisik kan? Di situlah aku baru merasakan kepentingannya. Ketelitian penilaian kita sangat menentukan diagnosis, yang berarti juga menentukan pengelolaan selanjutnya. Pasien itu kurujuk dengan pesan2 yang tegas agar tak menundanya sama sekali. Dokter tahu betapa mengerikannya penyakit itu, tapi orang awam belum tentu mengerti, jadi kewajiban dokterlah melakukan yang terbaik untuk mereka. Alhamdulillah Tuhan masih melindungiku sampai sekarang, aku harap akan demikian dan semakin demikian.

Oya, sebagai penutup, pasien terakhir kemarin memberikanku pelajaran agar sebagai seorang dokter kita harus yakin dan tidak mudah menyerah. Aku ekstraksi corpus alienum dari CAE seorang bocah. Hampir saja, sudah terpikir, untuk merujuknya ke spesialis THT, tapi....ah tidak, sampai kuusahakan semampuku. Dan akhirnya dengan pinset bayonet itu alhamdulillah ekstraksi berhasil dilakukan. Anak itu tersenyum lega, hilang sudah keluhan telinganya. Aku ikut tersenyum lega, lega luar biasa. Terimakasih untuk semua anugrah kebahagiaan itu ya Tuhan. Sungguh, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga.

3 comments:

  1. waaaw....:D
    bahagianya....:D

    ReplyDelete
  2. hai salam kenal... saya seorang koas... yang sedang berusaha untuk menjadi dokter... tulisan dokter bener2 menginspirasi saya.... keep on good work dok... Cmangat^^

    ReplyDelete
  3. @ mita: alhamdulillah mit...kamu pasti juga pernah merasakan yg spt itu kan...

    @anonymous koas: salam kenal juga, but how should i call you? dek koas? haha... Masa2 koas ternyata adl masa2 yg sangat berharga, baru terasa setelah saya menjadi seorang dokter. Semakin banyak kasus yg pernah kita lihat atau kita tangani sewaktu masih koass, makin sering kita berlatih berbagai keterampilan saat masih koass, ternyata sangat berpengaruh thd bagaimana kita mendiagnosa dan m'treatment pasien saat kita menjadi dokter.

    ReplyDelete