Friday, April 3, 2009

Mengurus Perpanjangan SIM...Sendiri


 

Seperti trenggiling yang bisa menjadi bola2 lalu menggelinding bebas, atau landak yang tak peduli jika hewan lain bisa tertusuk durinya. Aku memakai ‘filosofi’ ini untuk menghadapi hari itu. Saat aku harus mengurus perpanjangan SIM-ku sendiri di Polres Bekasi. Cuek dan tegar

SIM A – ku sudah kadaluwarsa hampir 2 bulan. Sebagai warga negara yang baik, maka aku berinisiatif mengurus perpanjangannya sendiri, tanpa batuan calo (huu…). Oke, tadinya aku memang akan meminta bantuan agen, mengingat waktuku tidak banyak, dan membayangkan betapa ribetnya urusan administratif seperti ini, belum2 sudah underestimated duluan. Untungnya (atau anehnya) agennya menolak, malah menyarankan untuk mengurus sendiri. Katanya hari gini pemilu, banyak polisi2. Trus? Perasaan ga ada hubungannya deh. Kemudian dia menyebutkan ancer2 biaya yang harus dikeluarkan, dan katanya pula mengurus SIM sekarang ini cepat, tidak perlu seharian nongkrong di Polres.

Okelah, batinku, coba saja.

Hm, bayanganku ternyata tepat. Saat aku turun dari kendaraan dan hendak masuk ke polres, orang2 yang berdiri di sekitar situ seperti sudah bisa membaca pikiranku, “Perpanjangan SIM, Neng? Yuk, abang bantu yuk!” cenanyang2 hebat bermunculan.

Waw, ogah banget deh , yang ada aku lari, hehe…

Tapi bukan gitu caranya. Entah belajar dari mana (mungkin dari pengalaman jadi preman kampung melayu 3 taun ya, hihihi..), aku mengangkat wajah, pandangan lurus ke depan, langkah kaki tegas lebar-lebar, dan jangan buang2 waktu dengan celingukan apalagi menanggapi mereka, pokoknya jangan terlihat kalau kita bingung dan siap ditipu lah. Pandangan memang lurus ke depan, tapi lapangan pandang kita maksimalkan dong, apa gunanya punya 2 mata kalau gitu coba (gebet cowok cakep, polisi ganteng… gubraks!). Perhatikan sekeliling, baca situasi, cari sesuatu yang bisa dipercaya, seperti tulisan ‘pengurusan SIM’ bla..bla..bla… Dan ternyata tulisan itu ada, tersembunyi di pojokan, tidak akan terlihat dari luar, kecuali anda sudah masuk ke serambi.

Agak lega, tapi masih melangkah dengan sikap sok tahu, kuikuti saja terus tanda panah-tanda panah itu, melewati lorong dengan berbagai ruangan-ruangan di samping-sampingnya, membingungkan. Jadi daripada kelamaan bingung, aku masuk WC saja dulu (trik nomor 14: miksi mengurangi ketegangan, mengosongkan kandung kencing, dan merupakan kesempatan emas untuk merapikan make up, hihihi…).

Selanjutnya kembali ke jalan yang benar, aku menemukan bapak2 bersegaram dalam box kaca bertuliskan informasi SIM. Hm, I think he’s Mr. Right. Jadi aku tanya padanya, darimana aku harus memulai jika ingin memperpanjang SIM.

Aku mengangguk cepat dan tidak berlama2 disana, karena ternyata aku harus keluar lagi, cek kesehatan di luar gedung. Wow, dimanakah itu? Kita lihat saja. Jadi aku pasang lagi aksi sok pede-ku, tanpa banyak bertanya, langsung lurus ke gang di samping polres. Gang itu makin lama makin menyempit, tapi tidak ada tanda2 atau tulisan poli kesehatan, yang ada malah tempat narkoba. Wuidih, hampir panik, tapi tahan..tahan.. keep cool, calm, confident. Ya, confident, itu yang penting. Aku masuk ke bangunan terakhir di ujung gang itu, tempat beberapa orang duduk di kursi panjang. Lagi2 tanpa tanda poli kesehatan. Mataku menangkap tulisan yang ditulis asal-asalan di sebuah kotak pulpen dari kertas di atas satu2nya meja disana, “SIM BARU”. Hm, setidaknya masih ada bau2 SIM-nya. Jadi aku langsung masuk saja ke bangunan itu, menemukan satu2nya ruangan dengan pintu terbuka dan berisi beberapa orang yang duduk di belakang meja. “Perpanjangan SIM, Mbak?” lelaki yang paling muda, tanpa seragam, di salah satu meja itu, adalah cenanyang kesekian yang kutemui hari ini. Dan kali ini aku menurut.

Tes kesehatan. Jadi lelaki itu meminta SIM lamaku, 2 lembar fotokopi KTP-ku, dan menanyakan tinggi serta berat badanku. Setelah itu aku pindah meja, kali ini seorang ibu-ibu dengan seragam, langsung membuka buku dihadapanku dan bertanya, “Ini?”

Aku menyebutkan angka yang tertulis. Empat kali di lembaran ischihara yang berbeda, lalu pertanyaan minus kacamataku. Well, cepat sekali pemeriksaan kesehatan ini. Aku pun membayar 22ribu (entah resmi entah tidak, karena tidak ada kuitansinya), lalu pergi dengan membawa selembar kertas kuning hasil pemeriksaan seadanya itu.

Oya, sebelumnya perlu kuperingatkan, agar membawa fotokopi KTP anda sebanyak 4 lembar untuk mengurus perpanjangan ini. Fotokopian di dekat situ mahal sekali, masa’ aku fotokopi 5x = 2000 perak, huhu...

Selanjutnya aku masuk kembali ke gedung polres, membayar asuransi sebesar 15ribu rupiah di salah satu loket. Kemudian berpindah ke loket lainnya bertuliskan PERPANJANGAN SIM RP. 60.000,-. Mengambil seberkas formulir yang harus diisi, dan teringat bahwa aku tidak bawa pulpen.

Ini saatnya menurunkan sedikit kadar kecuekanku dan mengintip korban yang tepat untuk dipinjam bolpennya. Pertama, seroang lelaki berkaus hitam, tapi ternyata ia mau ujian tertulis, jadi ia mengambil kembali bolpennya sebelum aku sempat memakainya. Kemudian, dan ini yang terakhir, korban yang lebih aman, mbak2 yang lagi duduk terbengong2, dan dia bawa bolpen. Thank’s a lot, mbak! Jadi bagaimana cara mengisinya? Aku dengan bodoh 2x bolak-balik ke loket krn ada yg belum terisi, dan tampaknya petugas loket itu mengerti, oh mungkin aku sendirian yang bodoh.

Setelah mengembalikan formulir di loket III (untuk mengurus SIM baru di loket II), aku duduk dan memulai fase penantianku. Aku bisa lebih bebas mengamati sekarang, tempat pengambilan foto di sebelah dalam, dan tempat tes tertulis di dalamnya lagi dimana banyak orang duduk-duduk. Wah, aku tidak ingat dulu aku melakukan semua itu (ya iyalah, orang SIM aja nembak!).

Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk panggilan itu. Bapak berseragam di dalam box kaca informasi SIM yang melakukannya dengan suara lantang dan logat sunda yang kentara. Aku foto, tanda tangan, dan cap jempol tangan kanan dan kiri. Kemudian aku dipersilakan menunggu lagi di tempat yang sama.

Tak lama TOA di loket IV bergemerisik, menyuarakan beberapa nama dengan namaku diantaranya, dan sang petugas menyerahkan SIM baru kami. Total aku menghabiskan waktu satu jam dan rupiah 99.000,- untuk sebuah perpanjangan SIM dan kartu asuransi dengan jangka 5 tahun ke depan, sesuai dengan ancer2 yang disebutkan si agen yang sempat menolakku.

Aku turut berbangga, untuk kejujuran (dan memang sudah seharusnya begitu kan?), kecekatan (cuma 1 jam di kota macam bekasi, hebat ga sih?!), dan keramahan para petugas (yang merasa). Masih banyak kekurangan di sana-sini tentu saja, dan kebingungan2 yang kadang menimbulkan ke-underestimated-an bagi masyarakat. Tapi rasanya kita bisa. Bisa menjadi lebih baik asalkan kita mau berjuang untuk itu. Tidak pernah mudah, dan tidak pernah begitu menyenangkan pada awalnya. Namun mengapa tidak? Untuk perubahan yang lebih baik, untuk Indonesia kita, untuk pemilu tahun 2009 ini… mungkin dari sinilah awalnya.

 

No comments:

Post a Comment