Saturday, April 25, 2009

Some credibility, I guess

Aku senang sudah berhasil mencabut gigi pasien hari ini. Memberikan kelegaan, menambahkan kepercayaan. Yang kalau kata temanku, meningkatkan kredibilitas. Alhamdulillah…

***

Pasienku seorang anak laki-laki berbadan besar, masih mengenakan seragam pramuka, dan terus dielus-elus ibunya yang tampak tak ingin melepaskan anaknya sendirian dirubung koass. Anak mami, benar2 tantangan, batinku saat tiba-tiba ditunjuk, “Baru sekali ekstraksi kan?”
Oke, yang satu dan yang pertama kali itu pun bukan aku sepenuhnya yang melakukan, giginya fraktur, terpaksa kuberikan pada dokter gigi yang bertugas. Kali ini aku ingin geleng, ingin menolak. Jangan pasien yang itu ah, ga pede, dipelototin ibunya terus lagi!
Tapi kenyataan bahwa kami nanti sebagai dokter tidak bisa pilih2 pasien (sementara pasien bebas pilih2 dokter), membuatku tak sempat berpikir untuk menolak. So, I take the challenge!

Kemudian alat-alat pun tersedia. Aku mengambil sarung tangan dan mulai memeriksa apakah anestesinya sudah bekerja. Bagus, sudah luksasi, seharusnya ini tidak sulit kan? Setelah yakin pasienku tidak kesakitan dan kulakukan ekskavasi, aku seperti biasa, meminta ijin pada dokter gigi poli yang sedang sibuk karena banyaknya pasien di hari sabtu sementara dia sendirian ditemani 18 koass minggu ke-3 (itu sih namanya bukan sendirian!)

Yup! Bismillahiraahmanirrahim! Posisiku dari depan, siap dengan tang pencabut nyawa… eh gigi maksudnya. Sudah siap beraksi begitu, tiba-tiba ibu si pasien protes, “Kok bukan sama dokter A** (dokter gigi poli satu2nya disitu yang tadi kumintakan ijin)?”
Aku tersenyum dengan wajah terturup masker (jadi percuma, dodol!), “Ini giginya sudah goyang, Bu!” jawabku walau tak relevan dengan pertanyaannya. Yang penting cabut dulu.

Dan tak lama… Jreng jreng! Inilah hari bersejarah itu. Hari dimana ketika aku mengeluarkan tang dari mulut pasien dengan beak-nya telah mencengkeram sebuah gigi utuh plus karies2nya. Kutunjukkan pada ibunya dengan pertanyaan candaan kami, “Mau dibawa pulang?”

Sang ibu tampak lega. Anaknya juga, tidak merasa kesakitan atau pusing. Aku apa lagi, lega banget! Setelah kutunjukkan pada dokter A** bahwa giginya utuh, tidak ada yang bagian tertinggal, aku meminta pasienku menggigit tamponnya agar perdarahan cepat berhenti. Saat itulah kulihat ibunya ikut-ikut konsultasi tentang giginya ke rekan koassku yang lain. Ibu itu tampaknya mulai percaya pada segerombolan dokter muda ini.

Kepercayaan pasien merupakan hal yang membanggakan dan membahagiakan bagi kami. Ekstraksi, atau cabut gigi sebenarnya bukan kompetensi dokter umum. Beberapa universitas di Indonesia bahkan telah meniadakan stase ini bagi calon dokter umum mereka. Tapi disini kami masih mempelajarinya. Kami dipersiapkan untuk kelak saat kami harus PTT di daerah-daerah terpencil, dimana ada fasilitas cabut gigi tapi tidak ada tenaganya, dokter gigi atau perawat gigi, maka kami, dokter umum, sanggup melakukannya dengan lege artis.

Sebelum pasien itu pulang kunyanyikan edukasi pasien post-ekstraksi kami, “Kapasnya dilepas setengah jam lagi ya, Dek! Boleh minum dingin, tapi jangan minum yang panas2 dulu! Kalau kumur janga keras2 ya! Ini resep obatnya, diminum ya!”

Aku tersenyum. Terimakasih atas kepercayaan Anda!

2 comments:

  1. wah, memang begini cara kita belajar rupanya.
    Hari pertama belajar anatomi. Hari kedua belajar jenis-jenis tang dan cara memakainya. Hari ketiga melakukan ekstraksi sendiri.
    Salut untuk dokter muda dan pasien.

    ReplyDelete
  2. waaa mbak ulin...jadi ingat saya pas masih kecil takut banget ke dokter gigi :)

    tapi klo dokternya seperti mb ulin mungkin gak takut kali ya ^^

    ReplyDelete